Rabu, 08 Juli 2009

Lelaki Laut Dari Ujung Halmahera


Akulah lelaki Halmahera
Ketika lahir dibilang canga
Tekadku batu meraja bagai hantu
Merampas harta dari tangan tentara Belanda

Akulah lelaki laut
Raja di laut sang bajak laut
Berlayar aku tiada bertitah
Kecuali niat menusuk penjajah

Akulah canga
Lelaki laut dari ujung Halmahera
Tiada bertahta tak butuh cinta
Seluruh harap hanya laut tempat menghamba

Ternate, 8 Juli 2009

Senin, 29 Juni 2009

Malam di Teras Masjid


Sebaris doa
Linang air mata
Aku menghampa
Memujamu sepenuh nyawa

Ternate, 26 Juni 2009

Senin, 22 Juni 2009

Sekali Lagi Ijinkan Aku Datang ke Pulaumu


Setelah berpisah di malam itu, aku telah hilang sayang
Namamu menjadi layang-layang terbang melayang
Lelaki pengkhayal merindukan bayang-bayang
Tentang cinta yang terlanjur hilang dalam gamang

Bahwa aku diam-diam terus memujamu diantara sepinya hati
Dengan dupa dan sesaji sejak pagi hingga senja matahari
Senyumanmu terus menyalakan dupa setanggi
Demi kenangan yang terus kusimpan matahati

Maka biarkan sekali lagi aku berkunjung ke pulaumu nanti
Mencari-cari remah kenangan barangkali tak semuanya basi
Seperti janjiku sepulang kita menonton puisi
Meniti jalanan di dalam sepi biar waktu tak hilang lagi

Ternate, 20 Juni 2009

Jumat, 19 Juni 2009

Pada Suatu Jum’at


Di batas sebuah takbir
Dari sujud paling akhir
Desahku begitu fakir

Ternate, 19 Juni 2009

Vina Dad Mon Para Moya

Kubaca jejak kakimu di bebatuan kota Ternate
Senyuman yang dulu kau sematkan di tepi Danau Tolire
Masih tersimpan di reribun daunan pala
Lalu angin pantai Sulamadaha memapah kita
Pada harum dekapan mata, masihkah ada rasa?

Malam ini ingin kuraba wajahmu pada pasi bulan Juni
Tapi jejak yang kau tinggal telah menghitam di Batu Angus
Sebagai prasasti dan tanda kenang menjadi kelam

Rindu yang tersia telah melahar di dada Gamalama
Segera setelah ini hanya asin laut yang menjadikannya mati
Selamat jalan kekasih hati, vina dad mon para moya

Ternate, 18 Juni 2009

* Bahasa Daerah Sula Kepulauan

* vina dad mon para moya= Perempuan bukan engkau saja


Karena Pintu Kau Buka Dua

Mestinya hujan sore ini mampu membilas segala luka
Tetapi ngilu terus menusuk membawa bisa di ekor pari
Lebamnya wajah Ternate adalah lebam di dada lelaki
Airmata terus menjala hingga membanjir ke jalanan kota


Sesat yang kau hela dengan khianat antara kita
Begitu terbaca di gerak suara, dusta kau tuang ke dalam piala

Lalu mengabur segala asa juga akad yang lama kujaga

Letihku merawat rindu adalah liur duniawi pada mulutmu

Melelehkan dendam birahimu hingga detik berpisah waktu

Dalam kemabukan mencari dunia, menari-nari di antara gulita

Tetes-tetes dosa tak mampu kuseka karena pintu kau buka dua

Ternate, 17 Juni 2009

Senin, 08 Juni 2009

Ternate Malam Hari dan Lelaki yang Sendiri

Ada bulan di bingkai jendela
Tersipu malu memandang bumi

Sayup suara gala dan dentang tifa
Meniupkan lagu masa dahulu

Nanar hatiku mendekap rindu
Pada kekasih di ujung waktu

Ternate yang sunyi di malam hari
Menikam lelaki dalam sendiri, ah nyeri

Ternate, 6 Juni 2009


*Gala=alat musik tiup seperti seruling


Sabtu, 06 Juni 2009

Semakin Gagu Menghidu Asin

Kepada malamlah salam kegelapan hendak dikirimkan
Sebagai tanda akan berpisah tanpa pelukan dan tanda mata

Lelaki yang lama meninggalkan pantai semakin gagu menghidu asin

Lalu alamat menjadi kelabu lantaran bahu terus merapuh


Kepada malamlah bintang-bintang melumatkan takdir

Tentang rindu yang lama tersingkir

Lalu awan menggunting cahaya ke dalam gelap bayangan malam
Tanpa matahati tiada harapan mengakrabkan jemari

Berlayar sendiri sama saja mengaramkan mimpi

Laju perahu tak lagi berarti entah kemana dan tak kembali


Ternate, 5 Juni 2009

Rabu, 27 Mei 2009

Satu Babak Kalamata

Demi janji-janjimu yang memberi warna ragu
Aku terus menyimpan amarah diam-diam, dendam kesumat
Dalam sengau nyanyi kakaktua di hutan Halmahera
Meski tanah tersus digali demi emas dan upeti

Dari tunas-tunas pala dan pucuk daun cengkeh
Telah kuramu satu bisa paling racun untuk baginda
Dan demi singgasana yang kau curi tanpa suara
Sungguh akan kurebut kembali demi harga diri
Biar anak cucu tak sampai mati bunuh diri

Dari sini, dari tajam dan lancipnya tanjung Bobane igo
Akan kutikam jantungmu seperti Nuku kepada Belanda
Membawa sejuta cora-cora dan anak panah ke Ngara Lamo
Memintamu turun tahta dengan muntahan lahar Gamalama

Ternate, 27 Mei 2009


Rabu, 20 Mei 2009

Tanah Air Sio Kona

Sejarah pernah menyalakan api dari tanah ini, Maloku Kie Raha
Sumpah Kaicil Paparangan pada niat merdeka dan harkat bangsa
Berbilang abad, Sultan Nuku mengangkat parang maju ke muka
Dari Tidore dengan Cora-cora dia sudah angkat senjata
Melaju ke Seram hingga Papua, Saidul Jihad lama berjaya
Di Raja Ampat membangun armada tapi sekarang negeri binasa

Masa kini adalah masa lalu yang datang berulang
Tapi siapa bisa paka dada menghadang kuasa, seperti Nuku pada Belanda
Di singgasana Salahakan salah kuasa
Dari pulau Sula sampai ujung Halmahera
Walau mereka bukan turunan kasta Istana

Kini negeri banjir airmata rakyat sengsara
Tapi Kolano seturut jua menimbun harta memuja wanita
Membangun Masjid untuk tempat menyepuh dosa
Pada wajah yang memang suasa

Siapa kini berdiri di muka mengangkat tinggi tongkat Sang Musa
Sio kona negeri nanena, hancur binasa Nuku tak ada

Ternate, 20 Mei 2009


* Maloku Kieraha= Maluku Empat Gunung, Kaicil Paparanga dan Saidul Jihad= Gelar Sultan Nuku, Cora-cora=Perahu tradisional yang menjadi armada perang Sultan Nuku, Paka dada=tepuk dada, Salahakan= Gelar Kepangkatan dalam Kesultanan seperti Adipati di bawah Sultan, Kolano= Sultan, Negeri nanana=negeri ini


Rumah Mimpi di Batas Pantai

Kubayangkan engkau menari gemulai
Sambil berlari di pasir pantai
Diantara ombak dan senja yang rinai
Basah kakimu butiran air berwarna mimpi

Ada tawa sekujur muka
Di lapangnya dada cinta mengada

Kubayangkan engkau datang bersua
Membawa rasa yang dulu tertunda
Cinta yang lama kembali menyala

Berumah kita di batas pantai
Berdinding atap dari bunga-bunga
Seperti dahulu pernah terandai
Anak kita tertidur disana

Tapi sayang segala melayang
Kisah kita telah layang-layang
Terlanjur hilang menjadi bayang

Ternate, 19 Mei 2009



Minggu, 17 Mei 2009

Sayap Hitam Bidadari Haliyora

Separuh hari di kota Ternate yang terus mendung
Telah melebarkan sayap kabut ke punggung
GamalamaLalu bayangan Halmahera timbul tenggelam

Di antara batas awan dan gelombang
Seperti juga harapan pada tanah kelahiran yang mengawang

Karena dusta dan khianat demi kursi

Hidup adalah melempar nasib ke mulut gurango
Tajam giginya memutus nurani dan akal sehat
Sama juga gelapnya mengikat nasib di sayap bidadari
Entah ke Khayangan entah ke Senayan
Harga sebuah kursi telah mereka beli
Dan tak kembali menyeka airmata anak sendiri

Ternate, 16 Mei 2009

* Haliyora=Nama lain Halmahera, Gurango=Ikan Hiu


Sabtu, 09 Mei 2009

Manifesto Sepasang Rindu

Tak ada lagu seindah airmatamu dari ujung telepon mengabarkan rindu
Pada cinta yang telah kita ikrarkan sehidup semati

Jarak yang menghulu adalah ikatan yang mengakrabkan hati

Setia padamu adalah jalan menuju Ilahi, hanya Ridho-Nya yang kita cari


Menempuh perjalanan waktu tanpa di sisi engkau mengada
Adalah perjalanan panjang hakkat cinta, tak akan binasa
Bila diraba getar di dada hanya ada ketukan nada

Melagukan nana yang akrab di mata hingga nanti kita bersua


Tentang setia doakan saja biar tak ada hasrat berdusta
Membina rumah tangga tak semudah mengucapkan kata

Hanya dengan percaya amanah di dada tolonglah jaga

Biar airmata tak sampai datang berwajah sengsara


Perempuan Langsa dengan cinta bertudung seulanga

Tak ada rindu seindah airmatamu dari ujung telepon memanggil namaku

Selamat tidur kekasih hatiku hadirkan aku ke dalam mimpimu


Bandara Soekarno-hatta,. 9 Mei 2009

Pukul, 00.43 wib


Kamis, 07 Mei 2009

Mencintaimu Aceh

Mencintaimu Aceh adalah cinta sepenuh hati
Bukan sembah ke duli tuanku Iskandar muda

Kepada Fansury hamba belajar memetik buih

Kepada gadismu hamba belajar mencari arti


Mencintaimu Aceh adalah kecintaan pada Ilahi

Pada nyawa yang telah berulangkali parsah pada moncong bedil
Pada perempuanku dulu yang kau ambil bersama tsunami
Pada anak yang kau rangkul di tanah sepi

Pada hidup yang terus memberi, aku beristri


Mencintaimu Aceh adalah nyawa seluruh keluarga

Tanah yang lama kurasa punya, teman dan saudara

Tak mungkin mati menjadi sia, janjiku setia


Mencintaimu Aceh adalah cinta tanah ibunda

Seperti sang laksamana mendera Belanda dahulu kala


Banda Aceh, 7 Mei 2009

Kamis, 30 April 2009

Permintaan Ombak

Ombak laut biru ombak pelumat pilu
Buka mulutmu telanlah beta
Oh buka mulutmu telanlah beta


Gunalah apa beta hidup sendiri

Sedang semua melepaskan diri, memilih pergi

Kekasih tak ada anakpun tiada

Hanya luka mendepa dada


Ombak laut biru ombak pelarung pilu

Buka mulutmu telahlah beta, oh telanlah beta

Biar garam seluruh airmata

Pantai Lhok Nga- Aceh Besar, 30 April 2009
Pukul 23.00 wib



Senin, 27 April 2009

Balada Sang Manohara

Karena molek paras dan rupa
Tersangkut engkau ditangan paduka

Pada titah ibu yang kini menghampa

Begitulah sesal tak datang pertama


Di sangkar istana berbalut sutra

Airmata kau dera menjadi telaga

Rembulan retak di sisi jendela

Datuk tertawa berpuas durjana


Di negeri Kelantan kau tuai airmata

Dari mimpi gelimang harta
Dahulu ibu mengantar kesana

Kini sesal datang mendera, siapa mengira

Ini kisah dua negara
Sejak dulu mengaku saudara

Tetapi Malaysia selalu mendera

Tak pernah lelah melempar cidera


Siapa kini jadi pembela

Si Manohara yang cantik jelita

Berharap tahta di negeri Malaysia

Ternyata datuk membawa petaka


Banda Aceh, 27 April 2009


Senin, 13 April 2009

Tersebab Saut

Pukimak Saut kusayang kali sama kau
Mana sajak dan tuhan yang kau ajak bicara itu

Malam ini kirimkan mereka bersama sebotol bir

Biar kita pakai buat mabuk seperti dahulu


Pukimaklah kau Saut

Mana puisimu yang berbusa itu

Datangkanlah dalam kemabukan, aku rindu
Biar kita berdendang seperti dulu tak pandang bulu

Sambil Mama bakar sagu

Sinanggar tulo... umahuk uh mabuk

Cincin permata jeli itu

Ole sio sayangee...mula jadi na boloni

Situmorang mereka monyet kita orang


Pukimaklah Saut

Tersebab kau kutulis puisi ini


Banda Aceh, 14 April 2009

Meminang Gemuruh

Jika dari betismu sinar birahi menyalakan rasa
Tak perlu lagi banyak bicara tentang dahaga

Singkap saja penutup dada yang tak seberapa

Lalu kita menenggelamkan diri ke dalam magma

Meminang gemuruh dari detakan ke ruas paha


Banda Aceh, 14 April 2009



Mahar Cinta Lelaki Ikan

Telah kita berlayar bersama sejak akad disumpahkan demi hati
Saling meminum saripati dari batang dan liang rahasia

Dari mana segala yang tabu menjadi cinta berbuah pahala
Saling merendam rasa hingga menganak sungai sekujur badan

Di lingkar pertama ada terucap salam dan doa

Dimudahkan jalan diringankan beban

Dilimpahkan rizki dan bahagia saling setia sampai menua

Hingga pada kepulangan dalam cita-cita saling bersama


Telah kita mengikatkan diri sejak akad tersumpahkan dari hati

Saling bertukar nafas dalam kemanjaan serupa Adam kepada Hawa

Dari mana segala cinta pernah ditinggikan hingga Salawat

Saling mengucap janji lalu cincin kita lingkarkan ke jari manis

Sejak itu arah pelayaran menjadi satu semanis madu

Lalu hari-hari berhambur senyum seperti matahari di pagi hari

Selalu datang membawa tawa setiap waktu semoga saja selalu begitu

Hingga setelah kepulangan kita saling tahu ada tanda untuk bersatu


Banda Aceh, 13 April 2009

Minggu, 12 April 2009

Selepas Senja Mengirimkan Duri

Dan aku tak punya apa-apa untuk dibawa pulang sebagai harapan
Sisa kenangan dan kuburan anak senja di Aceh merinai duri, ah nyeri

Terkapar aku memamah nisan meminta pulang tersandung awan
Gerimis di hati seturut ombak beronak-duri ini senja begitu sendiri


Banda Aceh, 8 April 2009

Selasa, 07 April 2009

Setudung Sajak Rindu

Hujankah hatimu bila meraba getir di dada
Detak yang meraja adakah itu pertanda rasa

Cinta yang membara atau perih datang mendera

Menyalalah duka jika saling membuang muka

Gerimiskah matamu jika rindu menusuk raga

Apakah dirasa dua hati saling mendamba

Cinta yang menyala dengan cincin sebagai tanda

Aku padamu begitu dalam menanam rasa


Banda Aceh, 7 April 2009

Minggu, 05 April 2009

Seturut Airmata

Bahkan ketika hari terluput dieja
Engkau masih saja mendua muka

Lalu aku terkurung duka mengurut dada
Melarungkan luka seturut airmata


Banda Aceh, 5 April 2009

Seasin Laut Memerihkan Dada

Apakah detak meluka seasin laut memerihkan dada
Rindu yang berairmata datang menikam seperti trisula

Tentang nelayan yang semakin jauh menebarkan jala

Adakah harapan membaca nada di kelopak mata

Banda Aceh, 5 April 2009

Rabu, 01 April 2009

Berlayarlah Dengan Bendera Atas Nama Diri

*reza

Ingin kuajak dirimu serta dalam pelayaran mencari sepi
Tentang cinta dan rahasia waktu juga maqom tempat menuju

Tetapi kita punya alamat sendiri-sendiri, cobalah mencari

Punya tujuan sendiri-sendiri meski sama berperahu puisi


Gerimis itu penanda berpisah seperti jejak di setiap pulang

Sebagai tanda sapa yang memulangkan rindu ke asal sunyi

Meski kenangan terus menghidu asinnya buih seperti katamu

Pelayaran kita menempuh waktu tak bisa dibagi, sudah begitu


Ingin kuajakamu serta dalam serta palayaranku membuka rahasia

Tentang kesetian dan arah angin juga alamat untuk kembali

Tetapi kita punya perahu sendiri-sendiri untuk menuju dermaga sunyi

Jikapun pernah bersua bukan untuk tak saling berpisah, begitulah waktu

Maka layarilah lautmu sambil membaca gerakan angin

Mencari-cari jejak hakikat, yang mana emas yang mana loyang

Sungguh puisi hanyalah kata tetapi bukan berarti busa

Rajutlah ia menjadi layar sebagai bekal menuju kesana

Dengan atas nama diri sendiri begitulah kita menuju mati


Banda Aceh, 1 April 2009

Selasa, 31 Maret 2009

Sekerat Jarak

Lautan sepi tiada ombak hendak bertandang
Lurus tiang layar tanpa angin tiada mengembang

Antara harapan dan kecemasan memucat pasang
Ada jarak mulai terpancang meski bayang-bayang

Banda Aceh, 31 Maret 2009

Seng Bisa Lupa

Seng bisa lupa cinta di mata
Cuma nona yang ada di dada

Hanya satu yang beta minta

Jangan sampai ada airmata


Seng bisa lupa nona pung muka

Deng rasa cinta di dalam dada

Cuma nona yang beta cinta

Polo beta katong bacinta


Banda Aceh, 31 Maret 2009

Kamis, 26 Maret 2009

Cuma Mau Bilang Cinta

Jangan nona membuang muka
Kalau memang seng ada suka


Beta cuma mau bilang cinta
Mengapa nona mesti tingkala

Kalau memang ada yang salah

Ampun beta jang ale marah


Beta cuma buang suara

Sapa tau nona lai suka


Kalau memang nona seng bisa
Kasih maaf jua par beta


Jangan nona salah menduga

Beta cuma mau bilang cinta


Banda Aceh, 27 Maret 2009


Jumat, 20 Maret 2009

Begitu Jauh Membuang Muka

Sesekali ingin juga kutulis puisi untukmu lagi
Seperti dahulu ketika rasa berbunga-bunga di dada

Tetapi langit begitu jauh untuk ditera dengan kata


Kita telah pernah berbagi masa

Juga anak-anak dan tanda mata

Tetapi takdir siapa mengira

Selalu datang tanpa dikira begitu banyak airmata


Masa yang lalu tidak melulu adalah luka

Pernah pula tergambar cerita

Juga harapan dan cita-cita meski kini telah sirna

Sesekali ingin kutulis lagi puisi untukmu seperti dahulu

Tentang angrek dan edelweis atau setangkai anyelir dalam jambangan
Tetapi kata-kata selalu sangkut di sela ganggang menjelma karang

Lalu asin memenuhi ruang hati terkadang empedu


Sesekali ingin juga kutulis lagi untukmu puisi rindu

Seperti dahulu kata-kata mengakrabkan bahu merekatkan waktu

Tetapi kita telah begitu jauh membuang muka menumpuk duka
Hanya airmata menjadi penanda dua hati telah terluka


Banda Aceh, 20 Maret 2009


Kamis, 19 Maret 2009

Munajat Sang Penyair

Ambillah semua semau engkau ambil dariku
Hingga sampai kepulanganku hanyalah kosong

Seperti juga kedatanganku yang tanpa apa-apa

Kita telah saling berjanji kepadamu aku pasti kembali


Ambillah ambil seperti perjanjian di pintu rahim

Hingga kepulanganku hanyalah rindu untuk bertemu
Kekasih sejati di pusat sunyi seperti puisi yang kau bisiki

Menyusun harap sepenuh hati menuju engkau Ilahi Rabbi



Banda Aceh, 19 Maret 2009

Rabu, 18 Maret 2009

Sajak Kepulangan

Di Aceh telah kutampung semua duka
Tentang anak yang kau panggil pulang

Tentang istri yang berlari pulang
Tentang harapan dan reruntuhan

Juga cita-cita yang terlanjur hilang


Kini berlayar aku ke kampung halaman

Dengan luka menembus tulang
Masa depan atau karam

Hanya engkau alamat bertahan

Ada dan tiada apalah artinya
Jika engkau mengambil pulang


Banda Aceh, 19 Maret 2009

Terancam Karam

Kau cabut karang
Kau rebut ganggang

Aku ikan kehilangan sarang


Kau sobek harapan
Kau lemparkan kenangan

Perahu cinta terancam karam


Banda Aceh, 18 Maret 2009

Rerimbun Pilu

Rindu yang lama
Cinta yang membara

Tak jua menjelma sepasang angsa

Engkau yang dulu
Engkau yang biru
Kini menanam rerimbun pilu


Cinta yang ragu

Hanya terminum sebagai empedu


Banda Aceh, 18 Maret 2009

Selasa, 17 Maret 2009

Sebelum Israfil Meniup Naviri

Adalah nasib harus terus kita layari menuju mati
Meski bila malam terlalu gelap untuk mencari

Apakah kau tahu begitu pedih ancaman cemeti

Mari bersiap diri sebelum Israfil meniup naviri


Gelombang hidup jangan sampai menyiutkan nyali

Ialah syarat bagi manusia menyucikan diri
Maka berlayarlah menuju cinta paling hakiki

Tempat dimana semua yang ada akan kembali


Banda Aceh, 17 Maret 2009

Kamis, 12 Maret 2009

Ke Dalam Cahaya Nur yang Satu

Ijinkan aku menujumu dengan kata-kata yang kusebut puisi
Begitu engkau mengajari Rasul-Mu untuk membaca
Maka kuturut perintah itu mengitari harumnya bumi
Sepanjang pelayaran sepanjang pengembaraan
Segala alamat tertuju pada-Mu ke batang teratai di batas terjauh

Lalu ketika Musa menepuk dada melupakan wara
Akupun menyelami hikmah di balik teguranMu
Jangan terlena di bukit Tursina insan mulia
Carilah dia di batas pertemuan dua tepi laut
Sejak dahulu sudah tercatat sebagai hakekat Surat Al Furqan
Begitu p
uisi mengajarkanku pulang padamu menjadi Satu

Siapa aku engkaulah yang menahu serupa Adam ataukah Nur
Asal yang satu kembali ke satu begitu engkau menuangkan rindu
Mim yang rindu Alif yang satu hendak kesana aku menuju
Membawa pulang tubuh yang biru ke dalam Cahaya Nur yang satu

Banda Aceh, Jumat 13 Maret 2009



Senin, 09 Maret 2009

Ke Dalam Harum Dekapan Ibu

Hujanlah yang menanda jejak pulangku
untuk bersimpuh di kaki Ibu
Tak luput jua kuziarahi pusara Bapak
Luka-luka yang lama bernanah
Terasa kering lekat kembali
Ada cinta begitu berderai sepanjang senja
yang memang basah

Di kota Ternate telah kutanda jejak pulang
Seperti menanda bibir kekasih
Rindu yang lama derita yang menua
Lenyap sudah tergulung cuaca

Pulang padamu Ibu seperti bayi mungil dahulu
Senja di kota Ternate seperti manis sebatang tebu

Hujanlah yang menanda jejak pulangku
ke dalam harum dekapan Ibu

Ternate, 1 Maret 2009

Selasa, 24 Februari 2009

Metafora Para Pelayar

Jemari malam membawa kita kepada gelap arah pelayaran
Jarak tempuh cuma sejengkal terbaca dimuka

Selebihnya luka-luka merusak dada
Hitam dan kelam memotret cerita sebagai bayang-bayang
Sekian lama menampung derita

Palka dan geladak terendam airmata

Sebagai pelayar jalan pulang bukanlah rumah

Alamat menuju hanya lautan sekujur waktu

Merakit hidup dalam getir dan patah hati

Kekasih sejati hanya layar dan tali-temali

Tiada halangan paling berarti

Pelayar sejati memerlukan nyali

Sekali layar menusuk langit

Perahu melaju dan tak kembali

Berlayar pulang hanyalah mati


Banda Aceh, 25 Februari 2009



Kamis, 19 Februari 2009

Semakin Aku Termabuk Rindu

Waktu berlalu umur melaju semakin aku termabuk rindu
Kekasihku langitkah itu lautkah itu engkau satu
Kemanapun arah melaju hanya kau tempat menuju
Tuntunlah aku merapat ke sisimu menjadi satu

Air mengalir ombak menari ke arah muara saling mencari
Aku padamu sesungguh hati engkau Ilahi kekasih sejati
Ilusi dunia tak akan kucari selain pintu untuk kembali
Merawat mimpi dan janji sehati mencari mati biar abadi

Rindu menjalar harapan menyebar harapkan Mahsyar
Berilah sayap lebarkan layar berapa harga akan kubayar
Tiada tujuan selain engkau arah kemana aku berlayar
Demi cinta kubayar mahar menuju engkau sepenuh sabar

Banda Aceh, 20 Februari 2009

Bambu Sudah Gila Hati Nona Sudah Tapela

Perempuan membatu lelaki terpaku
Menggambar luka sepenuh muka
Melarung debu sekujur tubuh
Merendam garam sebatang punggung
Masa depan tiada berujung, gelappun turun

Perempuan pergi lelakipun mati
Latuan sunyi nelayan pasi, tak ada bini
Di ujung meti jin salai merapal doti-doti

Sudah gila, ini bambu sudah gila, bambu gila
Hati nona sudah tapela sudah merana
Dimana-mana airmata dimana-mana luka

Sio kona badan binasa sio kona hati sengsara
Perempuan berduka lelaki putus asa

Banda Aceh, 19 Februari 2009

*Jin salai= setan menari, Tapela=retak, Sio kona=aduh kasihan



Minggu, 15 Februari 2009

Sekamar Rindu Setubuh Pilu

Jikapun hidup engkau layari seorang sendiri
Pulang saja seperti bangau ke arah sunyi
Meskipun nasib terasa payau dan hari-hari
Muara yang sunyi selalu setia memeluk janji

Hidup adalah belati seperti juga ruang di hati
Jikapun mati jangan sampai menusuk diri
Meski rindu terasa usang dan basa-basi

Layar yang dulu janji yang palsu
Jangan karam itu perahu
Teruskan saja arah manuju
Seiring waktu sejukur linu menjelma batu
Sekamar rindu setubuh pilu menjadi biru

Banda Aceh, 16 Februari 2009


Selasa, 10 Februari 2009

Satu Sajak Kehilangan

Bulan merangkak dari kaki timur langit

Di tepian krueng Aceh dan malam yang pasi

Kubaca gerak bibirmu terasa retak

Sekaleng bir dalam kemasan palsu

Merapatkan hangatmu yang dahulu ada


Sendiri begini luka-luka kian menganga

Menambah derita di dalam dada

Ke arah mana mencari muara

Tiada alamat tempat bersua


Rindu membara engkaupun tiada

Sebatang kara memanggul sengsara

Menyandarkan duka kepada siapa

Aku merana menahan siksa, menunggu binasa


Banda Aceh, 11 Februari 2009


Krueng Aceh= Sungai Aceh