Malam gerimis
Hujan di atas keerkhof
Kita telah sampai di garis mati
Kumohon lepaskan aku
Banda Aceh, 24 Desember 2008
Pantailah tempat pasir mengubur kenangan tanda kembali, janji. Dermaga yang hilang, laut yang cekat, kemana nasib menderas. Kitalah perantau, selalu bimbang pada harapan dan jalan pulang. Menghitung-hitung musim sesaji sambil mengutuki sang matahari. Ke dasar payau ke ujung bakau, nasib baik tak sudi memanggil. Jejak sunyi seorang lelaki yang berjalan di atas laut, menuju maut.
Pernahkah malam mengajarimu meraba gelap
Sehingga engkau mengerti bagaimana menghargai cahaya
Meraba ruang hati sama dalamnya mengukur rahasia laut
Pada tiap-tiap palung, luas dan lapangnya selalu tak sama
Mudah bagimu tak mudah untukku
Apalagi jika langit sendang berawan
Berlayar bersama, sama juga memecah perahu
Dua pilihan berbeda membawa kita ke amuk badai
Lalu tujuan menjadi karam
Banda Aceh, 22 Desember 2008
Puisikah atau wajahmu tak lagi bulan, begitu kaca
Debaran dada yang kau pantulkan ke muka sungai
terasa samar dan bayang-bayang, begitu riak terasa retak
Menelusuri jejakmu terasa kenangan kian padam
Hujan memperkelam malam yang memang suram
Adakah janji masih terselip di batas dermaga
Setelah berturut-turut malam meniupkan sasakala hujan?
Banda Aceh, 14 Desember 2008
Seperti ibu kasih darimu selalu kutunggu
Meredam pilu dari pelarian dan jarak waktu
Dadamu itu teluk paling biru selalu kurindu
Jangan malu, aku pelaut tak mencari madu
Peluklah aku yang kini merapuh tertikam waktu
Malam begitu ngilu umpama batu menimpa kuku
Jauh dari ibu tanpa seorang tempat mengadu
Tulus dekapanmu sungguh meredam semua deru
Perempuan berhati ungu cuma engkau begitu kuperlu
Banda Aceh, 8 Desember 2008
Di Cikarang kuhirup aroma nila yang menguap dari tubuh malam
Marka jalan seolah usus terburai cerai berai tergilas ban mobil
Tapi dari tanah seberang kau terus mengirim anak panah kata-kata
Menikam ke jantung hingga ujung jemari, mengapa begitu kasih?
Di layar televisi ada sinetron percintaan yang entah apa judulnya
Cerita tentang anak remaja dengan pongahnya berganti pacar
Lalu aku merasa kau sedang menangis seperti gadis di televisi
Padahal kita sudah terlalu tua untuk bermain dengan hati
Kau semakin merajalela mengirim kutukan seperti penyihir
Seolah aku bisa meminang seribu gadis dalam erang kenikmatan
Kau tahu aku hanya pemburu sepi dengan wajah terlalu biasa
Untung tak di bilang binasa, mana mungkin ada yang mau
Tapi itulah kau, selalu tak percaya dan mengutukku seperti anjing
Cikarang, 02 Desember 2008
Di koran minggu, kau tuliskan untukku sebuah puisi
Tentang seseorang yang terus berlari memanggul amarah
Demi mencari hakikat hati dan pintu-pintu menuju Ilahi
Berganti nama berpindah kota mengaitkan nasib di ujung belati
Ada sisa luka mengitam dari dalam dada hingga ke muka
Aku seorang Ambon yang memecah botol itu, masih kau simpan derainya?
Dari kotamu sepucuk puisi semakin rapat merangkul kawan
Aku ingat kita sering makan di warung putri minang
Kegilaan membaca puisi dan lagu sendu di pesta jalanan
Naik motor sewaan sambil sering tersasar arah tersalah alamat
Atau bercakap dan baca puisi di tepi kolam dan aku mabuk
Sepasang bule Australia itu bertengkar karena cinta aku tahu
Mereka dalam kemabukan saling membakar hingga berubah jadi cemburu
Tak perlu kau cemaskan karena kita punya luka sendiri yang lebih nyeri
Luka yang membuhul dari ujung ke ujung negeri semoga tidak di kotamu
Koran minggu kubaca berulang seolah hendak merapal mantera
Lalu keharuman aroma puisimu bertebaran seisi kamar
Kubayangkan kau sedang bersandar di batang ara melepas dahaga
Menikmati panorama ngalau indah, mungkin berkhayal
Tentang gadis berkebaya kuning dan merah hati
Atau berumah di Istana Asserayah Hasyimiah yang barangkali
Aku selalu ingat percakapan di tepi kolam hotel itu
Kau tahu ledakan-ledakan itu telah sampai di kotamu, ledakan puisi
Banda Aceh, 01 Desember 2008