
Murungnya langit Jakarta adalah murung hati kita
Jikapun awan menjadi keruh di wajah dan tatap mata
Kita sungguh tak akan lagi saling peduli tak saling bersama
Tajam khianat telah sama kita tikamkan meluka di dada
Telah kuangkut kenangan terakhir dari larik puisi paling sepi
Membawanya berlari sampai batas amarah tak lagi berapi
Demi masa lalu dan hari nanti yang selalu tak pasti
Cinta hanyalah getar pinggul dan pemberontakan kelamin
Selebihnya kata-kata cuma desahan dan erang kebasahan
Telah kulepas hasrat terakhir setelah pertengkaran malam buta
Lalu berlayar hingga batas tak bernama, meraba-raba makna
Mungkin saja nyata mungkin tak ada, tapi harapan haruslah ada
Jikapun nanti ada purnama bisalah dipakai untuk berkaca
Meski terbaca jelaga kita telah sama merdeka membuka mata
Bandara Soekarno-Hatta, 5 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar