Kamis, 31 Juli 2008

Senja Duka di Makam Tua


Di Keerkhof telah ku gulung berjuta ingatan
Tentang kampung halaman dan perempuan
Tentang nenek moyang dan sejarah masa lampau
Lalu terasa betapa aku begitu sendiri dalam kesunyian
Yang entah berapa ratus tahun bisa di jangka

Di Keerkhof, sisa perjalanan hanya makam tua
Yang bersilangan nama-nama dan tahun kematian
Aku terpaku menghitung nama-nama pada dinding prasasti
Marga dan kerabat yang akrab dimata, ada juga Lambertus

Di Keerkhof, Aku terus mendepa jarak yang tak kunjung susut
Antara kampung halaman dan masa pelarian yang tak berkesudahan
Kuraba gambar Johanes L J Hubertus sambil membatin di ujung tugu
Apakah aku juga akan berbaring di tanah ini karena peluru
Atau segera menyusul anakku yang terlanjur berlayar ke hulu

Di Keerkhof betapa keyakinan telah menjadikan aku batu
Lalu ku catat satu demi satu hentakan waktu yang terus menderu
Seolah derap sepatu serdadu marsose dari masa lalu datang memburu
Puisi ini tentang kenangan dan juga pengharapan
Ke arah mana kesepakatan akan dibawa sepenuh hidup

Di Keerkhof betapa aku telah melampaui batas waktu
Antara sejarah masa lalu dan harapan yang akan datang
Bisakah kita mengubur dendam dengan diam
Seperti mereka yang dahulu telah perang dan pulang?

Banda Aceh, 31 Juli 2008

*Keerkhof= Makam Tentara Belanda di Banda Aceh

Kamis, 24 Juli 2008

Hikayat Cinta Sepasang Rupa


Di situ tempat telah kita memutus kata untuk bersama
Menelusuri gelapnya jalan demi cinta yang mencari rupa
Saling menanam bahasa rindu meski terpaut jarak dan waktu
Di sisimu itu sederet cahaya mulai menyala, api asmara

Demi jiwa yang dahulu dahaga, engkau datang memutus sengsara
Padamulah seribu kembang kan kuterbangkan mewarna pelangi
Bermandikan jingga berpadu mesra, rapatkan jemari genggamlah cinta
Berjalanlah kita meniti janji yang entah kenapa kini meronta

Demi cinta yang kini menyala, aku tak takut di buru hantu
Separuh umur di sisa hidup akan ku arung merebut waktu
Meski terpaut jarak dan umur saling menanam bahasa rindu
Begitu bermula asal asal cerita hikayat cinta sepasang rupa

Banda Aceh, 25 Juli 2008

Berkalang Nasib Sepenuh Waktu


Mengalirkah cintamu seperti sungai merangkai setia
Kepada muara tempat bermula, asal segala dahulu bersua
Engkau air dan akulah batu, membunuh waktu tak perlu bayu
Begitu bermula asal cerita sebening embun bermanja di daun

Kepada airlah ikan-ikan menulis kenangan
Kepada batu menanam percaya sudah lama, itu cerita
Ketika itu menjelma hidup di batu karang sekujur waktu
Dari benih mendulang wujud menyimpan terang seribu cahaya

Sucikah kita dari niat serupa nelayan
Kepada sampan menanam percaya, itu cinta
Merenda nasib menyusur sepi demi harapan meskipun sunyi
Mendayung rindu berkalang nasib sepenuh waktu tak jua jemu

Seperti sungaikah cintamu janji menari meski rindu
Ke asal segala kita bersatu, seperti muara tempat semula
Akulah batu engkaulah air tak perlu angin menderu maju
Selalu manja membasuh waktu, seindah itu asal cerita

Banda Aceh, 24 Juli 2008

Rabu, 23 Juli 2008

Sajak Sepotong Rindu


*Maulana Alfi Syahri

Menziarahimu adalah perjalanan menyeret garis waktu
Pada batas rindu dimana umur seharusnya berhenti
Aku terus memunguti kenangan sepanjang sisa umur
Makam hijau tua dan pasir pantai tarasa masai
Kamboja berdiri gontai aku lunglai airmata berderai

Kepada siapa luka-luka harus ku kabarkan, adakah ibu?
Kau dan aku saling mati dalam dua batas sunyi yang menggerogoti
Aku larut mencarimu pada doa dan sisa kenangan yang terus meronta


Banda Aceh, 15 Juli 2008

Menjemput Galau


Selain pelaut siapa lagi yang terbiasa memamah rindu
Lautan dan pulau seolah hantu yang memburu di gelap malam
Bulan dan tahun terlewati dalam kehampaan terasa buram
Pada tiap-tiap persingahan hanya ada keliaran mencari pelukan
Pada perempuan malam dan kuda liar di hitamnya ranjang

Selain pelaut siapa lagi yang terbiasa melempar rindu
Pada dinding-dinding sepi bermodal potret kekasih
Apakah yang dibayangkan selain merapatkan diri
Pada pelabuhan yang sudah lama di tinggal pergi
Dalam pelukan sang perempuan mencari rembulan

Suatu hari nanti aku akan menciummu sepenuh rindu
Kuraba perempuan kayalan dalam angan, cuma dinding kapal
Ruang kosong dan langit-langit palka seolah berseru, mati kau
Sisa bacardi masih cukup membawa kemabukan
Berlayarlah aku ke pelabuhan khayalan menjemput galau


Banda Aceh, 08 Juli 2008

Aku Di Sini Tuan Dalam Kepayahan


Aku di sini Tuan dalam kepayahan
Kemarin lusa terhempas badai hampir lunglai
Sakit mengurung hingga dasar pelataran
Di palka-palka tulang rusuk terasa remuk teramuk radang
Lambung dan paru-paru terasa sangsai
Satu dua nafas tak bisa menghela ke pelabuhan
Ini perahu hampir saja karam

Aku di sini Tuan dalam kemalangan
Kemarin lusa badai melemparku ke tebing karang
Semakin rapuh terburu umur, terasa dekat ke liang kubur
Di kabin perahu nasib baik tak sempat untuk diukur
Huruf-huruf seperti tergulung entah di geladak entah di buritan
Satu dua nafas terasa berat untuk dihela
Ini nasib hampir saja selesai

Banda Aceh, 6 Juli 2008

Terbatas Waktu


Jika kesendirian adalah jalan ke arah pulang
Maka kita harus bertarung merebut waktu
Karena cahaya tak datang sendiri kecuali kau cari
Pada tiap-tiap kerinduan ada airmata sebagai pertanda
Aku atau engkau akan selalu seperti itu, rindu

Kita adalah pelayar yang tak mampu menghitung waktu
Masa lalu dan hari depan hanya angka tak bisa diraba
Bila waktu telah tiba yang tersisa hanya kerangka
Juga keranda sebagai pertanda bagi mereka di belakang kita
Aku dan engkau akan berjalan ke satu pintu, maut

Jika cinta telah membawamu dari waktu ke pintu kubur
Kepada siapa batu nisan kau titipkan di ujung rindu
Anak-anakmu penadah pilu atau istri yang segera berlalu
Sejarah adalah perbuatan sepanjang umur, terkadang pilu
Aku atau engkau akan selalu seperti itu, terbatas waktu

Banda Aceh, 1 Juli 2008

Tentang Pelaut yang Rindu Pulang


Jika nanti aku pergi karena musim atau cuaca entah angin apa
Akan ku selipkan sedikit kenangan sebagai tanda di ujung utara
Pada dermaga dan tebing pantai agar engkau tak susah mencari
Kepada karanglah ikan-ikan menanam kepercayaan, itu benih

Tentang getar yang berjejeran di pinggulmu apakah itu ombak
Kita pernah tergagap-gagap saling mengukur asa, apa kau rasa
Pada ketika itu segala menjadi berbunga-bunga seperti adinda
Lalu kita terus menghafal kemabukan dalam kenangan diam-diam

Sejarah para pelaut adalah sejarah mata angin dari lajur pencarian
Dalam tiap-tiap kemabukan mencari perawan juga perempuan karam
Kan ku bawa pulang seluruh sisa karang padamu menjadi halaman
Dendangkan sisa nada mari mendesah, kita melapang engkau sayang

Banda Aceh, 18 Juni 2008

Dua Lelaki Pemabuk dan Sarang Lebah Madu


Hudan dan Saut saling bersahut, maut
Lelaki ikan dan dia yang bicara dengan Tuhan
Saling memberi dan berbagi kemabukan Sebagai teks sebagai tubuh maupun busa, bir atau laut

Tapi dimanakah jantung lebah ratu itu
Benarkah dia menyimpan madu?

Bagi pelaut kemabukan adalah sahabat
Ketika ombak menghantam maupun perahu merapat
Entah di dermaga mana, adakah mereka mencari madu? barangkali
Tetapi bagi para pelaut kemabukan adalah bahagia dalam sejarah kehidupan
Lalu untuk apa mengunci diri apalagi di hadapan pembaca
Barangkali cuma sang lebah ratu yang tahu
Kenapa dia mengunci diri di tengah sarang-sarang madu

Mari tuan angkat gelasmu lagi, biar laut menggenangi seluruh kata
Agar kita termabuk-mabuk bicara dengan Tuhan


Banda Aceh, 10 Juni 2008

Setapak Nada Menuju Lautan


*Ditulis bersama Penyair Bali: Ayu Winastri

Seperti batu- batu kita saling menyusun harapan
Hingga menjelmalah dinding-dinding juga angan-angan
Tempat kita saling bersandar dan memahat cita-cita
Jika ada luka kita pasti telah saling meraba

Setelah ribuan malam kita berpagut dan merajuk pada bulan
Serat-serat mentaripun tertenun menyapu mulus airmata
Lalu dari sana ruas jemari jalin-menjalin serupa selendang

”Dewi Ratih, kepadamulah aku menanam kepercayaan”

Di ujung senja ada setapak nada menuju lautan, barangkali itu aku
Bawalah remuk redam cinta bila tak kuasa menahan cuaca
Tumpahkanlah sedulang airmata biar luka-luka cepat mengering
Jiwa ini tak mau menunggu, sambutlah jemari mari menari

Jakarta- Denpasar, 5 Juni 2008

Sebagai Senyum di Pintu Waktu


*montecarla

Pada tiap-tiap kesempatan yang kita sebut pertemuan
Adakah sembilu terselip diam-diam di runcing kuku
Saling mengunci kata sebagai suara sebagai bunyi
Lalu bicara melalui jemari seolah kita hendak menari

Sebagai senyum kau terlampau mahir melempar cahaya
Aku terkapar dalam asin yang mengeringkan bilik hati
Lalu karam menuju sisa waktu kepulangan dalam diam
Pintu-pintu waktu mengajari kita saling mencari, arti

Jika waktu menjadi banalu sebagai jarak dan juga umur
Aku ingin mati dipelukanmu sebagai ombak terus begitu
Dekap-mendekap sebagai sunyi sebagai wangi, janji
Kita akan terus bersama hingga segalanya mulai tiba


Banda Aceh, 3 Juni 2008

Dari Sekian Nama-Nama

Aku sedang di Aceh memanen buih
Merenda setiap warna sebagai pelangi
Biar terus menyala warna puisi
Kepada Hasan kita adalah tanah
Tetapi adakah si Nana memiliki wara?
memaki-maki seolah mengerti arti

Tentang Nirwan cukuplah sebagai bayang-bayang
Karena tanpa A kau tak menjadi Nirwana
Bagaimana bisa menghindar dari bayangan
Pokok berhala yang bernama Gunawan

Hu Hu Allah Hu dan Hidayat mari kita memanen buih
Menjadi diri sendiri atas segala dan sesuatu
Menjadi Kurnia entah Efendi entah Eka
Bagi semualah Rahmat itu sebagai Ali sang pintu ilmu

Kita memang tak selalu Raharjo
Tetapi Hidayat selalu memberi kata-kata
Tangan kita jualah yang selalu di tuntunNYA
Entah Sihir entah Sihar kita saling berSaut-sahutan
Ke Lawang Langit ke batas laut kau ku Pinang
Mempertegas senja sebagai batas perjalanan

Banda Aceh, 31 Mei 2008

*wara= Malu



Ke Jalan Lurus Menuju Surga


* sh & bu may

Kepada tiap-tiap yang hidup Tuhan menitipkan roh
Sebagai bekal sebagai kawan begitulah kita terus berjalan
Sampai pada ajal menjemput angka-angka disebut umur
Hingga batas mana segala adalah rahasia kita tak bisa meraba

Jika sampai hari ini kita masih menghisap umur
Begitulah angka yang kita capai sebagai jatah yang terus susut
Sisa perjalanan adalah menghitung batas waktu
Menulis cerita sendiri sebelum pulang ke asal diri

Kepada langitlah kami menadahkan tangan
Memohon kepastian dari ketiadaan yang ada
Tentang harapan dan cita-cita juga bahagia selamat sentosa
Di panjangkan umur ke jalan lurus menuju Surga

Banda Aceh, 30 Mei 2008

Lelaki dan Perempuan Penyimpan Kultus


Sebening apakah matamu jika embun di ujung perdu
Menarilah kelopak bunga warna matamu sebening air
Matahari yang menuntun ke ufuk bibirmu merekah
Dekaplah-dekap rapatkan seluruh debar biar berdetak

Dari jemari kuku kita pernah meraba detakan yang sama
Mengimpun semua aroma yang terlepaskan sepeenuh cinta
Saling menduga dan membangun harapan diam-diam
Tentang masa depan yang entah seperti apa kita punya

Selebat apakah rambutmu jika di pakai merimbun kenangan
Beranak-pinak sebagai lelaki dan perempuan penyimpan kultus
Saling mengeja gerak sebagai ombak pada pantai, itu pelukan
Kita telah memamah kenangan sebulat matahari pada pagi

Banda Aceh, 29 Mei 2008

Menggagas Rindu


Angin laut bertiupan ke pedalaman
Memahat pasir gurun menempa sabit
Berdarahlah jemari berdarahlah hati
Menggagas rindu menggagas pulang
Ke alamat mana dahulu aku tinggal


Banda Aceh, 29 Mei 2008

Entah Kemana Awan Berlari


Ke langitlah kita mengirimkan airmata sebagai tanda pada luka
Sampai bila nanti suara musim mulai berpihak ke tiang nasib
Kita boleh menggulung layar sebagai harapan di ujung buritan
Pada ketika itu kita sama terbiasa saling membaca gerakan angin

Kepada hasrat yang begitu ingin melepaskan ikatan jemari
Kita saling melipat waktu untuk berlayar memperlebar jarak
Kepada nasib yang mengungulung benci di perbatasan ikatan hati
Kita saling menamam emosi sebagai bekal memperbesar dengki

Tentang masa lalu apakah pernah seperti rembulan?
Kita telah terbang juga berenang sebagai burung sebagai ikan
Lautan dan udara begitulah kita menunggang rindu menderu
Lalu suatu hari kita kehilangan arus air, entah kemana awan berlari

Kepada hasrat yang begitu ingin melepaskan ikatan jemari
Pada ketika itulah kita saling mengirimkan taji sebagai tanda luka
Kepada airmata kita saling memperhebat cakaran, mempertajam cakar
Barat dan Timur begitulah kita saling melempar lembing kematian

Banda Aceh, 23 Mei 2008

Sejak Engkau Melepaskan Tanda Jemari


Tikamlah aku dengan tombak sepenuh bisa biar mati biar sepi
Hidup ini terlalu sunyi jika di hela seorang diri, ah nyeri
Tak ada pelangi, tak ada mentari, jiwa yang sepi siapa peduli
Matilah aku sejak engkau melepas janji, melepaskan ikatan jemari

Lautan sepi menyimpan duri menikam diri seperti belati
Kapal dan perahu siapa peduli, hanyut sendiri membunuh diri
Kelamlah musim, kelamlah nasib, tubuh ini kemana berlari
Pasir di pantai tiada menanti, matilah aku merinai mimpi

Tikamlah aku dengan tombak sepenuh bisa biar mati biar sepi
Di sinilah aku karam menelan garam demi nafas yang kelam
Hidup yang tersisa seperti berlayar memburu angin, tiada arti
Matilah aku sejak engkau memutus janji, melepas tanda dan mata hati

Banda Aceh, 21 Mei 2008

Lepaskan Aku Lepaskan Tanganmu


Lepaskan tanganmu lepaskan aku
Biar jatuh biar rubuh
Tubuh ini tiada kau butuh

Lepaskan aku lepaskan tanganmu
Biar luka biar siksa
Ini tubuh pantas sengsara

Lepaskan tanganmu lepaskan aku
Dalam sengsara aku merana
Ini tubuh layak di cerca

Lepaskan aku lepaskan tanganmu
Ini tubuh tak layak di cinta
Di ujung pilu di ujung nasib
Suatu senja aku akan mati


Jakarta, TIM, 20 Mei 2008

Kepada Sajak Langit


Kepada langitlah kita menadahkan tangan
Memohon kepastian dari ketiadaan yang ada
Tentang jalan pulang juga harapan dan cita-cita
Entah kanapa selalu itu yang kita rapal seolah mantra

Jauhkanlah aku darinya karena aku menghiba
Meminta kenyamanan dengan kesempurnaan paling puas
Dekatkanlah aku kepadanya karena aku hendak menjauh
Menolak kepedihan seperti berlari dari bara api

Di ketiadaan-Nya yang Ada, Tuhan meraja atas segala
Menghitung setiap zarrah dari tiap-tiap kebaikan tiap-tiap keburukan
Maka berhentilah dari tangismu seolah kau merengeki upah
Karena Tuhan tak berutang apa-apa atas doa yang kau pinta

Makassar, Jumat, 16 Mei 2008

Kepada Kepasrahan


: Maulana Alfi Syahri

Hanya kepadamulah aku bisa mengabarkan luka
Menyulam benang-benang sebagai rindu, begitu pula cinta
Sepilah aku dengan duka sepenuh tubuh, peluklah
Sepanjang laut sepanjang pelayaran lelah aku di gagahi waktu

Kita memang tak pernah tahu kapan Tuhan melipat umur
Kepergian adalah jalan pulang ketika takdir meminta begitu
Diamlah-diam, segala yang terbujur hanyalah tubuh
Kau kini merenda cinta di langit biru, aku untukmu juga ibu

Kepada kamboja yang memelukmu di atas gundukan tanah
Aku terus menyimpan kenangan sepanjang barisan ombak, itu pantai
Ketika kaki mungilmu untuk pertama kali terbasuhkan air laut
Kita pernah memeluk kenangan sepenuh kasih, begitu biru

Hanya karenamulah aku bisa menghambarkan luka
Menyulam masa depan sebagai harapan juga cita-cita
Berdirilah aku dengan muka sepenuh cinta, tunggulah
Sepanjang laut sepanjang pelayaran jejakmulah yang menemani aku

Banda Aceh, 12 Mei 2008

Di Hamparan Sahara Matamu


* Terinspirasi oleh Puisi- Ayu Winastri: Entah Suatu Ketika

Entah pada suatu ketika angin membawaku ke dermagamu
Merangkul aroma kesahmu dengan tangan sepenuh hasrat
Setelah berpiring-piring waktu saling menyuapi lagu dan puisi
Cintaku terdampar di hamparan sahara matamu, selamat pagi

Melintasi hambar di kehausan dengan nafas terlanjur pahit
Apakah mungkin memberimu tawa setiap pagi
Seperti matahari dengan pelukan sepenuh birahi
Menjadi matahati sebagai embun memulai hari, sabarlah menanti

Nanti pada suatu ketika angin merapatkan perahu ke dermagamu
Menggulung layar sepenuh deru sebelum waktu membunuh rindu
Sebagai putik bunga dengan segala kemabukan berwarna biru
Bersandar di hamparan sahara matamu, bahagia menanti

Banda Aceh, 28 April 2008

Dalam Kemabukan Kata


* Hudan Hidayat

Tuan datang dengan sebotol bir sambil menjinjing kata-kata
Berkhotbahlah kau tentang sastra seperti nabi tanpa wahyu
Dan akupun mabuk bersama, kita manusia ikan penjaga laut
Penyimpan rahasia di batas kesadaran sebagai karib bagi puisi
Busa bir itu, adakah nasib yang terombang-ambing? tuan tentu tahu

Ke arah mana nasib membawa kita hanya gelak tawa menjadi penanda
Harum kata-kata yang menyeruak entah dari sela paha entah dari ketiak
Kita tentu berada disana barangkali sebagai penikmat, bisa saja pelaku
Tetapi sungguh kita saling belajar, untuk berjalan mencari kearifan
Bukankah lendir itu penanda bagi kepuasan yang datang dari keikhlasan?

Malam itu tuan datang dengan segala kemabukan juga mimpi
Dan akupun berdiri menyambut dengan tangan sepenuh kata
Di rangkulan pertama ada puisi terlahir menjadi bunga-bunga
Lalu kata-kata beranak pinak sepanjang koridor taman Ismail Marzuki
Menjadi warna-warni entah ketuhanan entah kejalangan, ada erangan disana

Sampai puisi ini terlahir aku telah jauh mengambil jeda, pada jarak
Tapi kata-kata selalu mempertemukan kita dalam tanda bahagia
Meski bukan nabi, Tuhan tak pernah jera memberi kita inspirasi
Maka terlahirlah anakku sebagai puisi sebagai buah dari birahi
Mari tuan, angkat gelas terakhir sebelum fajar terlanjur mengusir


Banda Aceh, 25 April 2008

Sajak Sebelum Pamit


Sebelum alpa menghitung jarak nafas yang masih tersisa
Ada baiknya mereka-reka batas pelayaran yang hendak dituju
Kelasi dan perahu tak mungkin seumur batu, nasib di geladak siapa tahu
Ada saja angin berbalik arah, topan dan badai melempar prahara
Kita menulis cerita sendiri-sendiri sebagai kenangan setelah umur

Tak ada yang bisa meminta jeda begitu ajal menjemput waktu
Entah dalam cara apa takdir memulangkan kita ke ujung nasib
Sesungguhnya tiap-tiap yang hidup akan mengalami mati
Karena itu mari bergandeng tangan menulis puisi, titipkan juga cinta disana

Kata-kata tak bisa dibawa pulang kecuali doa mereka yang tinggal
Sekali ajal menjemput setelah itu tinggal nama, entah baik entah buruk
Sesungguhnya kita makhluk yang lupa, kata maaf jangan tak di pinta
Jika tak sempat, tulisakan saja sebuah sajak sebelum pamit

Banda Aceh, 24 April 2008

Sajak Sebelum Pamit


Sebelum alpa menghitung jarak nafas yang masih tersisa
Ada baiknya mereka-reka batas pelayaran yang hendak dituju
Kelasi dan perahu tak mungkin seumur batu, nasib di geladak siapa tahu
Ada saja angin berbalik arah, topan dan badai melempar prahara
Kita menulis cerita sendiri-sendiri sebagai kenangan setelah umur

Tak ada yang bisa meminta jeda begitu ajal menjemput waktu
Entah dalam cara apa takdir memulangkan kita ke ujung nasib
Sesungguhnya tiap-tiap yang hidup akan mengalami mati
Karena itu mari bergandeng tangan menulis puisi, titipkan juga cinta disana

Kata-kata tak bisa dibawa pulang kecuali doa mereka yang tinggal
Sekali ajal menjemput setelah itu tinggal nama, entah baik entah buruk
Sesungguhnya kita makhluk yang lupa, kata maaf jangan tak di pinta
Jika tak sempat, tulisakan saja sebuah sajak sebelum pamit

Banda Aceh, 24 April 2008

Memburu Masa Lalu


Kau pastinya tahu kita pernah melarikan dahaga ke batu karang
Sebagai masa depan yang akan dituju, entah bersama entah sendiri
Saling mencatat alamat sebagai persinggahan dan kata-kata
Sebelum hilang teluk terakhir yang hendak kau tuju sepenuh rindu

Pada segala kemungkinan yang kau rapal sebagai janji
Lautan terus menua di tubuhmu karena puisi membunuh waktu
Di tanah leluhur yang lama kau tinggal, doa-doa telah menguap
Gunung-gunung menjelma hantu juga malam di batas pasir

Tak ada yang patut kau puja selagi kecemasan datang menikam
Dalam dirimu bunga-bunga tersungkur, menjadi pusaka bagi kubur
Sebagai masa lalu yang terlanjur surut, entah kelam entah suram
Juga cita-cita yang lama kau tanam serupa jangkar dan tali perahu

Kau terus berlayar dengan wajah terbakar sepi, barangkali juga pasi
Sedang cuaca tak mau reda menggiring ombak ke teras mimpi
Ada atau tidaknya harapan sama gelapnya menunggu mati
Mendulang kabut berangkat ke langit, ingkarnya hati teramat sakit


Banda Aceh, 22 April 2008

Pada Satu Batas Waktu


Pada perjalanan yang lama kita anyam sebagai tikar daun pandan
Aku ingin makan siang dengan senyumanmu di atas tilam
Menjadi matahari menjadi matahati tanpa sakit atau mati
Sebagai bangau aku butuh pulang merendam diri ke dalam pelukan

Sebagai ombak kau terlanjur amuk, terus mengamuk mengubur kenangan
Tanpa batas kesabaran kau cincang seisi cerita, juga akar bakau yang tercerabut
Mengamuklah kau hingga pecah batu karang, kapal dan perahu aku karam
Kita lantas memilin masa lalu sebagai lolongan anjing dan kura-kura

Sekarang apa yang bisa kita bungkus sebagai bekal palayaran, juga impian
Sisa parjalanan adalah hantu laut yang gelap mata, mengintai dengan seringai
Sedang di geladak kau terus meronta demi rahimmu yang ternyata gulita
Mengandung taring pari dan bisa ular laut setelah satu musim persetubuhan

Sebelum elang menukik tajam di ujung tanjung, angin pancaroba datang menusuk
Debur ombak dan tiupan layar melajukan birahi sebagai sampan dan tiang kemudi
Dari tubuhku yang menjelma api aroma wajahmu dendam kesumat membunuh pagi
Meski kita saling malahap pada satu batas waktu sebelum dahaga tertuntaskan sebagai diam

Banda Aceh, 21 April 2008

Di Ujung Buih


*Ditulis bersama Penyair Bali: Ayu Winastri

Aku terdampar di pasir pantai
Menghitung jengkal jarak pelarian
Waktu yang lampau cinta yang karam
Nafas tersengal menahan tali buritan
Ini luka entah berapa lama, aku lupa

Aku terkapar di sisa pelayaran
Betapa ombak adalah jeram
Dahulu kita saling meredam, memendam
Entah amarah entah kasmaran
Itu cerita sudah terlalu lama, aku lupa

Adakah sanak menemukan badanku berkalang pasir
Diantara denyut ombak menyisir
Itukah kau kembali dari ujung kelasi
Rupamu pun aku lupa


Denpasar-Banda Aceh, 11 April 2008

Lelaki Yang Berjalan Di Atas Laut

Pantailah tempat kita meraba rahasia sejak muda, juga cinta
Sebagai terang dan gelap antara batas air dan tanah daratan
Ketika itu waktu belum menjulurkan nasib, menyuburkan aib
Sebagai ombak, sebagai luka, masa depan atau pengkhianatan
Sampan yang terbalik, batu-batu berhulu badik terus mencabik

Lautlah tempat kita merapal niat meski lupa aroma rahim
Sebagai perantau dan anak laut, pada kenyataan dan jarak pulang
Semakin menjauh itu muara, semakin menjauh belaian ibu
Sebagai buih, hasrat yang ragu tak cukup nyali untuk bernyanyi
Ke dasar payau memburu waktu tanpa ada pengobat rindu

Pantailah tempat pasir mengubur kenangan tanda kembali, janji
Dermaga yang hilang, laut yang cekat, kemana nasib menderas
Kitalah perantau, selalu bimbang pada harapan dan jalan pulang
Menghitung-hitung musim sesaji sambil mengutuki sang matahari
Ke dasar payau ke ujung bakau, nasib baik tak sudi memanggil
Jejak sunyi seorang lelaki yang berjalan di atas laut, menuju maut


Banda Aceh, 10 April 2008