
* Hudan Hidayat
Tuan datang dengan sebotol bir sambil menjinjing kata-kata
Berkhotbahlah kau tentang sastra seperti nabi tanpa wahyu
Dan akupun mabuk bersama, kita manusia ikan penjaga laut
Penyimpan rahasia di batas kesadaran sebagai karib bagi puisi
Busa bir itu, adakah nasib yang terombang-ambing? tuan tentu tahu
Ke arah mana nasib membawa kita hanya gelak tawa menjadi penanda
Harum kata-kata yang menyeruak entah dari sela paha entah dari ketiak
Kita tentu berada disana barangkali sebagai penikmat, bisa saja pelaku
Tetapi sungguh kita saling belajar, untuk berjalan mencari kearifan
Bukankah lendir itu penanda bagi kepuasan yang datang dari keikhlasan?
Malam itu tuan datang dengan segala kemabukan juga mimpi
Dan akupun berdiri menyambut dengan tangan sepenuh kata
Di rangkulan pertama ada puisi terlahir menjadi bunga-bunga
Lalu kata-kata beranak pinak sepanjang koridor taman Ismail Marzuki
Menjadi warna-warni entah ketuhanan entah kejalangan, ada erangan disana
Sampai puisi ini terlahir aku telah jauh mengambil jeda, pada jarak
Tapi kata-kata selalu mempertemukan kita dalam tanda bahagia
Meski bukan nabi, Tuhan tak pernah jera memberi kita inspirasi
Maka terlahirlah anakku sebagai puisi sebagai buah dari birahi
Mari tuan, angkat gelas terakhir sebelum fajar terlanjur mengusir
Banda Aceh, 25 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar