Minggu, 30 November 2008

Ledakan itu Telah Sampai di Kotamu

:iyut

Di koran minggu, kau tuliskan untukku sebuah puisi
Tentang seseorang yang terus berlari memanggul amarah
Demi mencari hakikat hati dan pintu-pintu menuju Ilahi
Berganti nama berpindah kota mengaitkan nasib di ujung belati
Ada sisa luka mengitam dari dalam dada hingga ke muka
Aku seorang Ambon yang memecah botol itu, masih kau simpan derainya?

Dari kotamu sepucuk puisi semakin rapat merangkul kawan
Aku ingat kita sering makan di warung putri minang
Kegilaan membaca puisi dan lagu sendu di pesta jalanan
Naik motor sewaan sambil sering tersasar arah tersalah alamat
Atau bercakap dan baca puisi di tepi kolam dan aku mabuk

Sepasang bule Australia itu bertengkar karena cinta aku tahu
Mereka dalam kemabukan saling membakar hingga berubah jadi cemburu
Tak perlu kau cemaskan karena kita punya luka sendiri yang lebih nyeri
Luka yang membuhul dari ujung ke ujung negeri semoga tidak di kotamu

Koran minggu kubaca berulang seolah hendak merapal mantera
Lalu keharuman aroma puisimu bertebaran seisi kamar
Kubayangkan kau sedang bersandar di batang ara melepas dahaga
Menikmati panorama ngalau indah, mungkin berkhayal
Tentang gadis berkebaya kuning dan merah hati
Atau berumah di Istana Asserayah Hasyimiah yang barangkali

Aku selalu ingat percakapan di tepi kolam hotel itu
Kau tahu ledakan-ledakan itu telah sampai di kotamu, ledakan puisi

Banda Aceh, 01 Desember 2008

Jumat, 28 November 2008

Sisa Kenangan di Kutaraja

Kau mengelus rindu di pojok kanan ujung dermaga
Menjahit cerita dari sejarah yang pernah mengalir
Antara kita pernah ada sejumlah rupa debar gelora
Dari jemari hingga ke dahi bergelantung airmata rindu

Di teras depan pernah ada sebatang seulanga
Seperti bintang dengan bunga berwarna kuning
Ketika itu mimpi-mimpi belum terkurung
Antara kita belum menggunung debaran pilu

Sore ini kupetik lagi sekuntum seulanga
Lalu kenangan melingkar-lingkar seperti dahaga
Padamu jua sepenuh wangi pernah ada di ruang kepala
Di Kutaraja kita pernah menumpuk dada

Tetapi kini selebat hujan airmata luka aku curahkan
Di ruang mimpi, dari kenyataan dan hilang harapan
Berunggun-unggun sisa hariku tersambar petir
Luka karenamu segala harapan menjadi abu


Banda Aceh, 29 November 2008

Kesetiaan Kata

Puisimu itu kekasih di dada
Perangkai makna penjaga cuaca
Demi kata berbilang pujangga
Jangan ingkar kepada bahasa
Sungguh tiada halusnya rasa

Puisimu itu kekasih di mata
Pembawa cahaya penjaga cinta
Jika alpa menanam rima
Segala kata hanyalah busa
Tiada bermakna dan sia-sia

Puisimu itu tak hanya kata
Seperti puasa dan doa-doa
Sudah pasti berbuah pahala
Jika engkau pandai menjaga
Sebagai pujangga akan bernama


Banda Aceh, 28 November 2008

Sepi di Batas Puisi

Kenangan selalu datang seperti lagu lama atau sebuah film tua
Memutar segala ingatan hingga batas kenyataan dan jarak rasa
Dan pertengkaran yang menjauhkan kita dari hati dan tatap mata
O, betapa kesepian begitu membunuh melebihi bisa ular

Dalam setiap kepahitan dan manisnya kebersamaan
Masa lalu kita adalah sejarah yang patut dikenang
Pun kepada anak-cucu kelak patutlah menjadi cerita
Bahwa kita benar pernah saling cinta dan menyayangi

Namun bila perpisahan adalah jalan menuju sisa umur
Maka kuterima semua takdir dan kehendak rahasia itu
Sebagai tanda kepasrahan dan kepercayaan kepada-Nya
Sampai pada nanti puisi membunuhku di batas sepi

Banda Aceh, 28 November 2008

Kamis, 27 November 2008

Satu Batas Keyakinan

Jika malam nanti ada hujan
Itu airmataku yang tumpah
Biarkan saja, ia bukan luka
Cuma penanda keletihan

Jika malam nanti bulan padam
dan laut hanya diam
Itu petanda hatiku tengah gulita
Lupakan saja, ia bukan derita
Cuma aroma dupa
Dari tubuh yang mulai renta

Jika malam nanti ada airmata
Percayalah aku tidak apa-apa
Tinggalkan saja, besok pasti ada angin
dan perahu kembali berlayar

Aku hanya butuh teluk
Bagi nasib yang kian menua
Berlabuh disana dengan satu keyakinan

Banda Aceh, 27 November 2008


Selasa, 25 November 2008

Sebutir Sajak Rindu

Butir-butir pasir butir-butir rindu
Aku dan kamu bersenandung lagu merdu
Desahan ombak hangat nafasmu mengakrabkan dahi

Butir-butir hujan butir-butir cinta
Menderas di pagi buta detak nadimu menjadi pelita
Belaian ombak lembut jemarimu mengindahkan cerita

Aku dan kamu sekian lama menimbun gelora

Banda Aceh, 26 November 2008

Senin, 24 November 2008

Amuk Petir

Hujan pancaroba telah dikirim bersama amuk petir
Seperti juga hati terasa getir sejak engkau mulai mencibir
Jalan ke arah cinta semakin licin lalu kita tergelincir
Apakah ini rahasia langit yang dibilang takdir

Tambah GambarBanda Aceh, 25 November 2008

Minggu, 23 November 2008

Macam Ombak Pica di Mata

Kalau cinta so jadi siksa
Cuma airmata menjadi penanda
Deng rasa luka di dalam dada
Janji bersama sudah binasa
La anak-anak mau bagaimana

Beta ingat waktu remaja
Ada janji di bulan puasa
Nona bisik di raka’at kedua
Abis taraweh katong bajumpa

Tapi sekarang samua binasa
Hidup bersama cuma perkara
La siapa sangka jadi sengsara
Cinta yang lama jadi airmata

Macam ombak pica di mata
Akang tatusu di dalam dada
La rasa akang mau jadi apa

Banda Aceh, 23 November 2008

*So=sudah, Deng=dengan, La=lalu, Katong=kita, Macam=seperti Pica=pecah, Tatusu=tertusuk

Senja yang Menjadi Abu

Berlayarlah walau habis kain layar
Ambil jasadku jadikan tumbal
Biar malammu tak menjelma hitam

Jika padam lentera di kabin
Sulih airmataku jadikan minyak
Biar tak padam cahaya di hati

Tentang kita telah karam segala cinta
Musim di geladak seperti demit dan kuntilanak
Gelap dan sesat tak ada harap beranak-pinak

Senja yang menjadi abu sisa kenangan telah abu-abu
Jikapun nanti mati jangan pernah ingat padaku

Banda Aceh, 22 November 2008

Kamis, 20 November 2008

Seng Akan Bacere Sehidup Semati

Apa nona rasa ada cinta tasimpan di dada
Janji lama waktu muda katong remaja
Kalau nona bilang iya
Beta pulang kaweng deng nona

La apa rasa so baku dapa
Rindu yang lama pasti manyala
Ale pola la beta kele katong manari deng bikin janji
Seng akan bacere sehidup semati

Banda Aceh, 21 November 2008

Senin, 17 November 2008

Sampai Batas Umur Sepiku Memuja Laut

: Andi Tafader

Sampai pada batas umurlah sepiku memuja laut
Rindu yang mengalir adalah rindu rahasia langit
Rahasia bawah air yang menikam ke jantung puisi
Kepadanyalah segala rahasia sunyi ingin ku selami

Pada sekian persinggahan pernah kutemukan wajah bunga
Juga tajam airmata dari luka yang kian menganga
Bersandarlah aku pada perawan pada perempuan karam
Namun sunyi mata air tak pernah juga bisa kujangka

Maka demi pelabuhan yang selalu menggemparkan telinga
Aku memilih berlayar menuju titik paling sepi yang dibilang mati

Banda Aceh, 18 November 2008


Minggu, 16 November 2008

Metamorfosa Julia Perez

Di dadamu itu telah matang segala dahaga
Sumpah serapah dan hasrat terpenjara
Kucing hitam hingga sorban di kepala
Mereka tersiksa ingin menerjang tapi tak bisa

Dadamu itu puncak impian para lelaki
Hasrat menikmati seperti kucing menahan hati
Diam-diam mengutuki mengapa engkau begitu seksi
Sambil merancang undang-undang pengalih birahi

Dadamu itu birahi keajaiban beranak-pinak
Menyergap segala selangkangan meranumkan hasrat
Jakun turun naik seolah zikir padahal sesat pikir
Lalu membungkam kegairahan dengan kitab
Seolah itu kewajiban atas nama agama dan moral

“Tai kucing mereka itu, tahu apa mereka soal dada” Iyakan jupe?

Banda Aceh, 16 November 2008

Jumat, 14 November 2008

Hingga Izrail Mencabut Nyawa

Kubaca lirik yang tercecer dari garis tangan Hamzah Fansuri
Ketika di Barus segala kitab pernah tertulis, ia sufi
Masa lalu adalah cermin jejak perahumu membetuli insan
Dan manusia yang selalu lupa kepada langit dan jalan pulang

Lalu sakit datang seperti taufan menusuk sum-sum
Terasa remuk sekujur tubuh nisan di kubur menggunting umur
Pandangan mata terasa kabur malaria selalu berkunjung
Sepanjang hidup sepanjang umur amal baik tak cukup sekantung

Seperti amarah di hati Nuruddin tubuh ini kini membara
Lembar kitabmu sudah tak sanggup mengusir hawa
Terbakar aku karena alpa sedang tubuh menuju binasa
Pintu neraka mulai terbuka karena dosa terlanjur berjaya

Kitab itu telah kubaca ada petuah juga pertanda
Seperti Alif di depan mata Mim melingkar di dalam dada
Tetapi aku terlampau luka hendak kemana membawa muka
Hanya berpasrah padaNya kuasa hingga Izrail mencabut nyawa

Banda Aceh, 14 November 2008

Kamis, 13 November 2008

Tanda Rasa di Batas Senja

Sampai pada batas kepercayaan yang teryakini
Kita telah saling menitipkan rasa sayang
Gurat pipimu warna ludahku pernah mampir
Berbagi jemari sepanjang hari yang kita pahami

Tapi persekutuan dari altar mana yang mempertemukan kita
Aku tak pasti tahu, hanya rasa begitu sama di dalam dada
Sebagai pelaut aku terbiasa di hempas badai kadang karam
Di matamulah gemulai bunga sudi menemani, begitu suci

Lautan seperti katamu adalah jembatan menuai rindu
Lalu kita saling melukis tanda rasa di batas senja
Warna jingga itu kisah kita yang menyala meski terbaca jelaga
Menyayangmu adalah harapan menyembuhkan luka-luka

Banda Aceh, 14 November 2008

Rabu, 12 November 2008

Lelaki yang Menyetubuhi Laut

Kusetubuhi laut demi keyakinan
Tentang kelahiran dan jalan pulang
Darimana segala bermula
Akan kesana segala menuju

Bahrudj Djauhar tempat bersatu
Engkau dan aku saling mengaku

Kusetubuhi laut demi kelahiran
Anak-anak bernama puisi
Hingga engkau memanggil pulang
Menagih perjanjian di mulut rahim
Ketika itulah orang-orang menyebutku mati

Banda Aceh, 13 Novemner 2008

Terlanjur Lapuk

Kurasakan tempat tidur seperti papan bertabur paku
Merebahkan nasib sama saja menikam tubuh

Engkau dan aku menumpuk sengketa setinggi gunung

Senja kemarin awan hitam bergulung-gulung
Terasa urung hasrat berlabuh, merebut waktu yang kian rapuh

Perahu itu biar melumut seperti kita terlanjur lapuk
Sudah padam segala suluh, kisah kita tersaruk-saruk

Banda Aceh, 13 November 2008

Selagi Musim Masih Mungkin

Kekasihmu itu pasir putih diterbangkan waktu
Hanya butiran debu hampir pasi tersisa di hati
Berlayarlah selagi musim masih mungkin
Besok dan lusa kata-kata bisa saja lebih berbisa

Banda Aceh, 12 November 2008

Senin, 10 November 2008

Satu Babak Tanah Girah

Meza Swastika ucap ibu pada diri sendiri
Dalam kelemahan menjelang ajal. Akulah Behula
Ku pilih sendiri jalan perkawinan sebagai siasat
Tak harus setia kepada Airlangga kurebut engkau
Diah Ratna Manggali, setialah pada hati meski ingkar kepada bumi

Jarak yang kau hela apakah dendam yang terlalu samar
Atau karena gelapnya kecewa di bawah bantal
Biar saja tusuk mata serupa nujum menikam punggung
Berlayarlah denganku tidak untuk Daha tetapi untuk kita

Kitab Lipyakara punya ibu penuh amuk telah kucuri
Cerita setelah ini hanyalah aku dan kamu, tak usah ragu
Masa depan adalah lautan yang menghampar
Kita hanya butuh keberanian untuk mendayung, ayo maju

Lelehan arak api adalah lelehan murka ibu di pantai Kediri
Akan ku minum demi engkau yang terlanjur aku sayangi
Setialah berjanji tak akan lagi berpaling hati, akhir tahun nanti
Aku kembali membawa hati, asal kau mau menanti

Banda Aceh, 11 Oktober 2008

Biar Janji Terus Abadi

Nikmat persetubuhan manakah yang engkau anggap duri
Seluruh selangkangan adalah titik paling tabu yang kini suci
Doa-doa sepanjang pelayaran dari kitab suci serupa kisah nabi
Menikah bukanlah saling merintangi diri tetapi untuk berbagi hati

Lalu pada kitab yang mana engkau boleh memaki suami
Pengabdian dan kasih sejati itu jalan paling hakiki
Cinta Zulaikha tak pernah binasa meski Yusuf pernah sengsara
Hanya kepada Nuhlah sang istri menutup hati, hingga mati

Lalu nikmat mana lagi dari Tuhanmu yang kau ingkari
Sedang perberdaan adalah cara membangun harmoni
Adam dan Hawa tidak terpisah dalam sehari
Tapi mereka saling mencari biar janji terus abadi

Maka demi puteri-puteri yang bermastautin di atas langit
Tuhan menanam asmara dan hasrat berahi ke dalam hati
Aku....aku....aku, dijadikan untukmu, tutur Hawa ketika itu
Lalu kupersembahkan sepuluh salawat kepada sang nabi sebagai mas kawin

Maka dihalalkan engkau atas diriku serupa Adam di Surga dahulu

Banda Aceh, 11 November 2008

November Tanpa Arti

Kubaca hujan di wajahmu begitu beliung
Mendung menggayut ada retak di lingkar kemudi

Di dadamu topan halilintar merontokkan kain layar
Cadik dan kemudi patah melunglai, sangsai
Tiada lengan tempat menambat
Mengakrabkan rindu yang dahulu pekat

Kuraba wajahmu sebagai hujan bulan November
Terasa luka beranak pinak, dendam kesumat
Senja emas hanya tersisa warna tembaga
Sekali dua angin bicara, tentang prahara

Tajam seringaimu aroma kematian mengutuk diri
Lautan janji kini terhampar sebagai sangsi
Menikam hati pada November yang tanpa arti

Banda Aceh, 10 November 2008

Dengan Literan Arak Api

Siramilah hatiku dengan arak api biar kering biar mati
Kau telah menjelma legenda calon arang
Di matamu api, tak lagi matahati

Nyalakan seluruh sisa benci biar laut menjadi api
Dimana matahari sudah tak penting lagi
Jemarimu seluruh teluh tajam menikam

Bakarlah seluruh sisa hati biar hitam biar kusam
Gerai rambutmu beranak pinak bisa ular

Tuangilah hatiku dengan literan arak api
Mimpi-mimpi terkutuki, aku mati

Banda Aceh, 9 November 2008

Jumat, 07 November 2008

Terbakar Dahaga

Bagi pelaut dermaga hanyalah duka
Tempat membongkar segala luka
Berharap cinta yang terhampar hanya pusara
Perahu binasa masa depan cuma jelaga

Aku sekarat terbakar dahaga


Banda Aceh, 7 November 2008

Rabu, 05 November 2008

Biar Padam Segala Sepi

Karena ada janji di hati kutulis puisi di laut mimpi
Rindu kelasi meracik janji pengobat mimpi kasih sejati
Topan dan badai aku layari untuk mengikat tanda jemari
Di hulu sepi merangkai hari demi tujuan satu yang pasti

Jika aku merapat nanti sudi engkau datang berlari
Biar kita merangkai hati janji setia sehidup semati
Demi cinta yang telah bersemi cibiran orang jangan peduli
Mari kita merajut mimpi suka dan duka kita hadapi

Kapal layar di ujung meti ikan pari taruh di api
Kita berlayar di musim nanti biarlah padam segala sepi
Aku berjanji kepada bumi demi engkau si bidadari
Bila bersama sampailah nanti di pintu surga saling menanti

Banda Aceh, 6 November 2008

Selasa, 04 November 2008

Teman Sejati Menuju Sunyi

Dari Seram membawa tali buat mengikat pagar di Bali
Saya heran sekali-kali mengapa orang sibuk mencaci
Tanpa puisi memang tak mati tapi tiada rasa di hati
Aku rindu sepanjang hari sudi engkau sabar menanti

Biar putus tali kemudi jangan putus tali di hati
Meski jauh berbilang hari cinta di hati tak mungkin lari
Selalu ada janji terpatri tak mungkin lagi ke lain hati
Cuma nona di dalam hati setia menanti bersama puisi

Sudah berbilang bulan berganti tak juga terhapus nama di hati
Sunggung ini menyiksa diri tapi tak mungkin aku ingkari
Taruhlah ajal di ujung nadi sudahlah pasti jasad terkafani
Nama dan janji ku bawa mati teman sejati menuju sunyi

Banda Aceh, 5 November 2008

*Seram: Nama pulau di Maluku



Tanpa Ba Bi Bu

Tapi sungguh puisi itu memang kurang ajar
Datang sesukanya seenak waktu menggangguku

Apakah dia tidak tahu kalau aku sedang lelah dan ingin tidur
Apakah dia tidak tahu kalau aku sedang menyetir
Apakah dia tidak tahu kalau aku sedang sibuk bekerja
Apakah dia tidak tahu kalau aku sedang bercinta

Bagaimana kalau terjadi tabrakan?
Bagaimana kalau terkena tilang oleh polisi?
Bagaimana kalau sampai aku di PHK?
Bagaimana kalau aku dimarahin istriku?

Tak apalah toh aku lebih dulu jatuh cinta pada puisi
sebelum jatuh cinta pada perempuan

Kenapa sih puisi suka semena-mena padaku
Padahal dia bisa telepon dulu untuk bikin janji
Atau mengirimkan sms atau ngobrol di yahoo masengger

Memang dasar kurang ajar saja puisi itu
Suka hatinya dia datang mengganggu tanpa ba bi bu

Banda Aceh, 5 November 2008

Sampai Pada Nanti Kita Pulang Bersama

Kutelusuri sembilan jalur mata angin
Dalam kesendirian setua umur bumi
Di ketiadaan yang ada memberi tanda-tanda
Akulah nama itu hanya tersebut di dalam sepi

Pernah pun kutuju Arsy meminta pulang seperti para Nabi
Namun selalu di suruh kembali sampai nanti
Nasibku mengitari bumi tanpa ajal menepi
Jikapun itu terjadi pasti sudahlah kiamat nanti

Kulayari lautan berapi hingga sajakmu berbaris rapi
Akulah yang menyelipkan nujum ke jemarimu menjadi puisi
Mendatangimu sebagai mimpi sebagai orang gila
Menjelmalah aku sebagai pengemis semoga dapat kau duga

Di ketiadaanku yang ada aku terus merapal mantra
Juga doa-doa bagi keselamatan para pujangga
Meski bukan nabi kusayangi kalian seperti fukoha
Menarilah dengan kata-kata sampai pada nanti kita pulang bersama

Banda Aceh, 4 November 2008

Senin, 03 November 2008

Demi Janji di Bebek Bengil

Demi janji ketika itu kita bertemu, akan kupasang seribu layar
Biar perahu menjadi layang-layang mengejarmu ke atas awan
Lalu kau sandarkan kepala di bahuku, Aku mencium rambutmu
Seperti dahulu sepulang dari bebek bengil menonton puisi

Akan kuhadang segala derita demi janji demi hati
Mesti ajal setajam duri perahu ini tak mungkin kembali
Pantang bersurut arah tak akan lagi berbalik kemudi
Menujumu dengan tekad sebulat bumi, setialah menanti

Demi lancip bulu mata dan senyum serimbun bambu
Telah kutunaikan janji sebagai lelaki sebagai matahari
Tak akan padam segala bara sampai ajal mengutuk diri
Janjilah menanti demi matahati aku kembali, akhir tahun nanti

Banda Aceh, 4 November 2008

Tiada yang Lain Sampai Ku Mati

Bacakan aku mantra kepulangan biar merapat, biar mendekap
Jalur pelayaran adalah seluruh arah mencari jejakmu
Yang dahulu pernah menyala lingkar jemari mewarna puisi
Aku merapat, rengkuhlah sayang sebentar lagi kita melaut

La Beta inga waktu pertama katong bakudapa
Ada tawa di bibir nona, merah muda pipimu delima
Tapi cakar kuntilanak menikammu dalam mimpi
Lalu kau melempar salam sebagai airmata tanda berpisah

Aku terus berlayar padamu segala harap telah tertuju
Sampai pada nanti senja mempertemukan kita seperti kelahiranmu
Segala badai tak jera ku hadang demi namamu di dalam hati
Satu kata telah terpatri tiada yang lain sampai ku mati

Banda Aceh, 3 November 2008


Minggu, 02 November 2008

Malam Airmata

Engkau cantik
Di dadaku sakit

Engkau pergi
Di wajahku sunyi

Hujan berderai
Tangis menderai

Senja pucat pasi
Hilang matahari

Malam airmata
kuyup kata-kata

Mencari matahati
Sepi membunuh diri

Banda Aceh, 3 November 2008

Sabtu, 01 November 2008

Satu Episode Luka

Badailah yang menerbangkan pasir pantai
Lautan mengamuk dan tak bisa kita renangi
Seperti ombak, di dadamu amarah

Hujanlah yang menikamkan kepedihan
Dan kita tak sempat memungut cita-cita
Hingga tak ada jejak tersisa di sore itu

Seperti masa lalu yang terlanjur pergi
Kita terkurung angin seperti juga kenangan
Terlanjur kelam menjadi bayang-bayang

Pantai Lampuuk, Aceh Besar, 1 November 2008