Jumat, 31 Oktober 2008

Dimanakah Masa Lalu Itu

Engkaukah itu yang berdiri di ambang pintu
Atau bayangan pada mimpi yang terburu pergi
Aku terlalu mabuk membaca gerakanmu, seperti tanda tanya
Lalu terbujur meraba tulang rusuk, masih hilang satu

Engkaukah itu yang menanti di ujung senja
Dalam lipatan warna jingga dan selendang merah dadu
Aku terlanjur alpa meraba arah angin, terdampar membatu
Lalu tergusur musim mimpi melipat hati, menuju mati

Engkaukah itu perempuan yang dahulu ku tuju
Atau musim merubahmu menjadi duri mendua hati
Aku terlampau jauh menusuk laut, memburu angin dan kata hati
Lalu bersandar pada kehampaan tanpa debar apalagi rasa

Banda Aceh, 31 Oktober 2008

Selasa, 28 Oktober 2008

Datanglah Sebelum Karam

Ketika jiwa lelah dan badai meruntuhkan harapan dari dada
Kaukah itu datang mendayung sampan menyuburkan harapan?
Atau cuma bayanganmu yang datang menjelang petang
Seperti bidadari pembawa pelangi, tangga pergi menutup hari

Jauh terkurung sepi dengan luka-luka sekujur hati, sekujur nadi
Aku terhisap pusaran arus tersangkut di cangkang karang
Menggapai-gapai kenangan menggapai-gapai harapan
Matilah kini saat yang ku tunggu, sungguh yang lain tiada berguna

Datanglah sebelum karam, jika mau membangun harapan
Melengkungkan rindu ke atas keningku berjejeran batu-batu

Banda Aceh, 29 Oktober 2008

Senin, 27 Oktober 2008

Lelaki Ikan

*huds

Lelaki ikan
Mengeleparlah dalam kemabukan
Aku membaca birahi
Merapal doti-doti

tuhan dan hantu
Perempuan dan batu
Termabuk arus
Aku menjelma paus
Kau mabuk
Aku mabuk
Lautan berbusa
Oleh kata

Banda Aceh, 27 Oktober 2008

Dua Garis Nasib

Aku tersedak meraba detak nadimu pada dinding-dinding batu
Seperti melacak jejak Hawa dalam kegersangan aroma pasir
Barat dan Timur melingkarkan luka terasa lengan tertusuk bisa
Dimana tapal batas dahulu Adam menjemputmu, Aku tak tahu

Lalu ketika angin mengirimkan desahan seperti nafas para ratu
Kau menjelma Cleopatra dengan lirikan paling tabu di ujung waktu
Aku terkapar membaca detakan nadi seperti Firaun terkurung laut
Lalu tergesa mengapai jejakmu yang menghilang terkubur arus

Kitalah pertentangan dua arus yang memisahkan Musa dengan Firaun
Pada batas keyakinan yang membelah laut sebagai jalan menuju selamat
Takdir telah memilah kita sebagai dua garis nasib, tak mungkin satu
Hingga pada puisi ini tertuliskan sudah tak mungkin menjelma prasasti

Banda Aceh, 27 Oktober 2008

Minggu, 26 Oktober 2008

Kepada Semua yang Telah Pergi

Sesungguhnya tak ada duri apalagi menusuk ke hati
Kepada semua yang telah melepaskan genggam jemari
Ku ucapkan terima kasih telah sudi merangkai hari
Aku akan berlayar sendiri dengan perahu sepenuh duri
Sampai pada waktu menguburku di batas bumi


Banda Aceh, 27 Oktober 2008


Dari Kepingan Jarak dan Waktu

Kau masih saja menabung rindu dari kepingan jarak dan waktu
Berharap penuh tempayan saat padi menguning dan perahu bersandar
Tapi aku sungguh tak sanggup ke jantung pulaumu kalau hanya memburu sendu
Kita telah pernah begitu rapat tanpa ada bara di dada, entah mengapa?

Lalu ketika engkau mengirim puisi dari lekukan paling sumir
Aku telah sangat jauh berlayar meski airmata seujung kemudi
Kau telah merepal doa bagi perjalanan ke ujung duri, terlanjur perih
Sampai pada entah kapan, tatap mata sudah tak lagi membawa arti

Banda Aceh, 26 Oktober 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Berhitung Rasa

Sebelum puisi menjadi bayang-bayang
Dan getar hanya tinggal riak di permukaan air
Mari merebut mimpi sekali lagi biar sehati
Aku padamu telah dalam menanam rindu

Sebelum perahu terlanjur ke pantai melipat layar
Dan cinta hanya cerita dari pelayaran yang sebentar
Mari menuang piala sekali lagi biar pasti
Aku padamu tak mungkin setia setiap hari

Jika engkau terus berdiri dengan setia aku temani
Jika engkau ada di sini sudah tentu aku tak pergi
Jika engkau pilih berlari aku bersiap putar kemudi
Jika engkau berlalu pergi kuangkat layar dan tak kembali

Banda Aceh, 24 Oktober 2008

Kamis, 23 Oktober 2008

Kawin Lari

Ee... Nona jangan balari
Beta cinta Ale setengah mati
Mari Nona dekat di sini
Beta rindu sepanjang hari
Cepat kemari ayo menari
Besok pagi katong kawin lari


Banda Aceh, 24 Oktober 2008


Balari=berlari, Beta=aku, Ale=kamu, Katong=kita

Sebelum Padam Nyala Puisi

Seratus jam jarak waktu melemparkan kita pada penghujung garis mati
Lalu puisi terus mengalir dari tajam mata air, airmata
Berdepa luka terus kuhela hingga laut berubah warna, merah saga
Hitam warna angin meniupkan tuba lalu binasa hasrat dahaga

Kemarau mematahkan ranting sajak terasa garam aroma nafas
Berderak-derak perahu retak, tersayat-sayat cinta sekarat
Kepada matahari, aku rindu dekapanmu tajamnya matahati
Peluklah aku selagi angin masih timur, sebelum padam nyala puisi


Banda Aceh, 24 Oktober 2008

Tak Juga Tulang Rusuk

Di pedalaman pulaumu aku hanya pelaut terkapar mabuk
Setelah lusinan kata kurajut dari pinggulmu berharap ramping
Matamu masih saja terbalut nila padahal hati belumlah senja
Kita terlanjur melepas tangan melepas janji, patah hati

Berharap pinggulmu menjelma pelana setelah lama dahaga
Aku terkapar mabuk menahan retak, tangis menderas
Merapal mantra dari kata-kata yang terlanjur laknat
Bilah-bilah puisi yang bertahun kususun tak juga tulang rusuk

Kini berlayar aku pulang tanpa angin dan sapu tangan tanda mata
Hanya duka mengurungku dalam belitan kesendirian, nyeri
Pelayaran setelah ini hanya kekosongan hingga penghabisan
Jika nanti aku mati serahkan tubuhku kepada api biar jadi sepi

Banda Aceh, 23 Oktober 2008

Rabu, 22 Oktober 2008

Berharap Engkau Sebelum Senja

Masihkah kita menghela nafas dengan nada sama
Seperti ketukan ombak pada dinding batu
Lepas dimana waktu telah melerai pertemuan
Janjimu setia pada matahati, aku matahari

Kau pernah bilang aku begitu tajam seperti haiku
Berlayar dengan lengan terjulur, adakah itu soneta
Saling merendam bara ketika malam merebut waktu
Lalu terkapar merendam pikiran tanpa api

Pada jarak yang sengaja kuhela mendekat
Kau hanya melempar tatap mata lalu kabut
Berlari sebagai siluet dalam ruang gelap puisi
Sedang aku hanya pelaut yang termabuk tanpa arah, luka

Lalu di lingkar tangan bukit Tjampuhan
Aku terkapar mengais-ngais kenangan
Mabuk pada lukisan perempuan telanjang
Berharap engkau sebelum senja membawa hati

Denpasar, 20 Oktober 2008

Minggu, 19 Oktober 2008

Mari Selesaikan Malam ini Dengan Manis

Hujan turun ketika kita menuntaskan persetubuhan kedua
Dalam tiap-tiap keliaran dan hentakan nafas yang terus memburu
Kita terus berpacu seolah takut dikalahkan waktu

Besok aku pulang dengan muatan segudang kenangan
Tentang dirimu yang memenuhi seisi perahu

Kita akan berlayar sendiri-sendiri sampai takdir mempertemukan kita
Tapi sebelum itu, mari kita selesaikan malam ini dengan manis

Ubud, 19 Oktober 2008

Terkapar di Museum Antonio Blanco

Jika tuntas lagu ini
Maka puisipun telah tuntas
Kutuliskan untukmu
Untuk yang terakhir kali
Matahari mati
Aku terkapar tanpa matahati

Ubud, 19 Oktober 2008

Tak Dapat Kudepa

Kepadamulah seluruh harap telah tertuju
Bergulung-gulung rindu kusandarkan ke pantaimu, biru
Lapangkah kiranya engkau menanti?

Sudah tak terhitung waktu kita saling memanen puisi
Apakah pertemuan ini tak saling kita harapkan? entahlah

Aku memang pelaut yang terbiasa menyelam
Tapi dalamnya hatimu tak dapat kudepa

Ubud, 19 Oktober 2008

Sabtu, 18 Oktober 2008

Lelaki yang Kalah

Layar hancur tercabik angin di antara gerakan tanda baca
Lautan meninggalkanku dalam kelelahan yang patah
Perahu tamat, akulah lelaki yang kalah

Ubud, 19 Oktober 2008

Dimana Adinda?

Aku terluka taji gelombang
Lembing dan tombak menusuk lambung perahu
Tercabik-cabik hati tercabik cabik nasib
Berceceran air hujan berceceran airmata
Aku terkapar hampir sekarat
Dimana adinda?

Ubud, 19 Oktober 2008

Jumat, 17 Oktober 2008

Kita Sudah Lama Tak Seranjang

Tanah retak air tumpah ruah
Orang-orang jumpalitan jatuh dan hanyut
Tangan menggapai pekikan melolong
Di mimpiku tanah dan air menenggelamkan segala

Aku jatuh tersangkut di dahan pohon
Tangan mengapai kau melempar senyuman
Aku tersadar kau tak di ranjang
Kita ternyata sudah lama berpisah

Ubud, 18 Oktober 2008

Rabu, 15 Oktober 2008

Dari Jarak yang Dahulu Menggila

Lalu ketika puisi kurapatkan ke dermagamu
Seutas senyum langsung kau rentangkan seperti temali
Naik turun jalanan Ubud naik turun gemuruh di hati
Aku terpapar tikaman pertama lancip matamu, ampun

Melayari rintangan jarak hingga persis ke teluk wajahmu
Aku mengais-ngais keyakinan tentang kisah yang barangkali
Dan kau melipat bibir dalam kerinduan yang malu-malu
Seketika itu berlabuhlah cinta dalam kemesraan berbunga-bunga

Lalu seperti gelombang kau berulang-ulang menampar kesadaran
Aku bersandar memintal cinta dari jarak yang dahulu menggila


Ubud, Bali, 15 Oktober 2008


Kamis, 09 Oktober 2008

Ya Jou

KepadaMu-lah
Aku pasti pulang
Dimana jalan itu?

Banda Aceh, 10 Oktober 2008

*Ya Jou= Ya Allah

Senin, 06 Oktober 2008

Rengkuhlah Aku Sedalam Rasa

Merapatlah padaku selagi nafas masih menderu
Jarak yang menggila gunting saja biar menjangka
Aku terlampau alpa diburu musim dan pertikaian
Sekian pelayaran hampir membunuh niat perjaka

Lalu lenganmu yang ranum jadikan ia tali dermaga
Rengkuhlah aku sedalam rasa bila ada cinta di dada
Raga ini butuh bersandar melepas rindu dan kesepian

Banda Aceh, 7 Oktober 2008