Berharap penuh tempayan saat padi menguning dan perahu bersandar
Tapi aku sungguh tak sanggup ke jantung pulaumu kalau hanya memburu sendu
Kita telah pernah begitu rapat tanpa ada bara di dada, entah mengapa?
Lalu ketika engkau mengirim puisi dari lekukan paling sumir
Aku telah sangat jauh berlayar meski airmata seujung kemudi
Kau telah merepal doa bagi perjalanan ke ujung duri, terlanjur perih
Sampai pada entah kapan, tatap mata sudah tak lagi membawa arti
Banda Aceh, 26 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar