Pantailah tempat pasir mengubur kenangan tanda kembali, janji.
Dermaga yang hilang, laut yang cekat, kemana nasib menderas.
Kitalah perantau, selalu bimbang pada harapan dan jalan pulang.
Menghitung-hitung musim sesaji sambil mengutuki sang matahari.
Ke dasar payau ke ujung bakau, nasib baik tak sudi memanggil.
Jejak sunyi seorang lelaki yang berjalan di atas laut, menuju maut.
Pukimak Saut kusayang kali sama kau Mana sajak dan tuhan yang kau ajak bicara itu Malam ini kirimkan mereka bersama sebotol bir Biar kita pakai buat mabuk seperti dahulu
Pukimaklah kau Saut Mana puisimu yang berbusa itu Datangkanlah dalam kemabukan, aku rindu Biar kita berdendang seperti dulu tak pandang bulu Sambil Mama bakar sagu Sinanggar tulo... umahuk uh mabuk Cincin permata jeli itu Ole sio sayangee...mula jadi na boloni Situmorang mereka monyet kita orang
Jika dari betismu sinar birahi menyalakan rasa Tak perlu lagi banyak bicara tentang dahaga Singkap saja penutup dada yang tak seberapa Lalu kita menenggelamkan diri ke dalam magma Meminang gemuruh dari detakan ke ruas paha
Telah kita berlayar bersama sejak akad disumpahkan demi hati Saling meminum saripati dari batang dan liang rahasia Dari mana segala yang tabu menjadi cinta berbuah pahala Saling merendam rasa hingga menganak sungai sekujur badan Di lingkar pertama ada terucap salam dan doa Dimudahkan jalan diringankan beban Dilimpahkan rizki dan bahagia saling setia sampai menua Hingga pada kepulangan dalam cita-cita saling bersama
Telah kita mengikatkan diri sejak akad tersumpahkan dari hati Saling bertukar nafas dalam kemanjaan serupa Adam kepada Hawa Dari mana segala cinta pernah ditinggikan hingga Salawat Saling mengucap janji lalu cincin kita lingkarkan ke jari manis Sejak itu arah pelayaran menjadi satu semanis madu Lalu hari-hari berhambur senyum seperti matahari di pagi hari Selalu datang membawa tawa setiap waktu semoga saja selalu begitu Hingga setelah kepulangan kita saling tahu ada tanda untuk bersatu
Dan aku tak punya apa-apa untuk dibawa pulang sebagai harapan Sisa kenangan dan kuburan anak senja di Aceh merinai duri, ah nyeri Terkapar aku memamah nisan meminta pulang tersandung awan Gerimis di hati seturut ombak beronak-duri ini senja begitu sendiri
Hujankah hatimu bila meraba getir di dada Detak yang meraja adakah itu pertanda rasa Cinta yang membara atau perih datang mendera Menyalalah duka jika saling membuang muka
Gerimiskah matamu jika rindu menusuk raga Apakah dirasa dua hati saling mendamba Cinta yang menyala dengan cincin sebagai tanda Aku padamu begitu dalam menanam rasa
Apakah detak meluka seasin laut memerihkan dada Rindu yang berairmata datang menikam seperti trisula Tentang nelayan yang semakin jauh menebarkan jala Adakah harapan membaca nada di kelopak mata
Ingin kuajak dirimu serta dalam pelayaran mencari sepi Tentang cinta dan rahasia waktu juga maqom tempat menuju Tetapi kita punya alamat sendiri-sendiri, cobalah mencari Punya tujuan sendiri-sendiri meski sama berperahu puisi
Gerimis itu penanda berpisah seperti jejak di setiap pulang Sebagai tanda sapa yang memulangkan rindu ke asal sunyi Meski kenangan terus menghidu asinnya buih seperti katamu Pelayaran kita menempuh waktu tak bisa dibagi, sudah begitu
Ingin kuajakamu serta dalam serta palayaranku membuka rahasia Tentang kesetian dan arah angin juga alamat untuk kembali Tetapi kita punya perahu sendiri-sendiri untuk menuju dermaga sunyi Jikapun pernah bersua bukan untuk tak saling berpisah, begitulah waktu
Maka layarilah lautmu sambil membaca gerakan angin Mencari-cari jejak hakikat, yang mana emas yang mana loyang Sungguh puisi hanyalah kata tetapi bukan berarti busa Rajutlah ia menjadi layar sebagai bekal menuju kesana Dengan atas nama diri sendiri begitulah kita menuju mati
Dino Umahuk adalah penyair Indonesia kelahiran Maluku Utara. Puisi-puisinya terbit di sejumlah media dan terkumpul dalam sejumlah bunga rampai. Mengikuti berbagai pertemuan sastra di dalam dan luar negeri. Ia telah menerbitkan enam buku puisi: Metafora Birahi Laut (Lapena 2008), Lelaki yang Berjalan di Atas Laut (Lapena 2009), Mahar Cinta Lelaki Laut (Tinta Pena 2009), Riwayat Laut (UMMU Press 2010). Puisi Pilihan “Panggilan Laut Halmahera” (UMMU Press 2011) dan Sebelum Laut Merebutku’Sepi (Garasi Genta 2013) Dino tengah menyiapkan antologi Puisinya yang ketujuh berjudul “Laut maluku Lekuk Tubuhmu” Disamping menulis puisi ia juga menulis kolom dan menyutradarai film dokumenter. Kini mengajar di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.