
Lurus tiang layar tanpa angin tiada mengembang
Antara harapan dan kecemasan memucat pasang
Ada jarak mulai terpancang meski bayang-bayang
Banda Aceh, 31 Maret 2009
Pantailah tempat pasir mengubur kenangan tanda kembali, janji. Dermaga yang hilang, laut yang cekat, kemana nasib menderas. Kitalah perantau, selalu bimbang pada harapan dan jalan pulang. Menghitung-hitung musim sesaji sambil mengutuki sang matahari. Ke dasar payau ke ujung bakau, nasib baik tak sudi memanggil. Jejak sunyi seorang lelaki yang berjalan di atas laut, menuju maut.
Ijinkan aku menujumu dengan kata-kata yang kusebut puisi
Begitu engkau mengajari Rasul-Mu untuk membaca
Maka kuturut perintah itu mengitari harumnya bumi
Sepanjang pelayaran sepanjang pengembaraan
Segala alamat tertuju pada-Mu ke batang teratai di batas terjauh
Lalu ketika Musa menepuk dada melupakan wara
Akupun menyelami hikmah di balik teguranMu
Jangan terlena di bukit Tursina insan mulia
Carilah dia di batas pertemuan dua tepi laut
Sejak dahulu sudah tercatat sebagai hakekat Surat Al Furqan
Begitu puisi mengajarkanku pulang padamu menjadi Satu
Siapa aku engkaulah yang menahu serupa Adam ataukah Nur
Asal yang satu kembali ke satu begitu engkau menuangkan rindu
Mim yang rindu Alif yang satu hendak kesana aku menuju
Membawa pulang tubuh yang biru ke dalam Cahaya Nur yang satu
Banda Aceh, Jumat 13 Maret 2009
Di kota Ternate telah kutanda jejak pulang
Seperti menanda bibir kekasih
Rindu yang lama derita yang menua
Lenyap sudah tergulung cuaca
Pulang padamu Ibu seperti bayi mungil dahulu
Senja di kota Ternate seperti manis sebatang tebu
Hujanlah yang menanda jejak pulangku
ke dalam harum dekapan Ibu
Ternate, 1 Maret 2009
|